Senin, 30 September 2013

ORION & MEROPE Part 2


Apakah adikku yang lesbi?
“Bang, Za berangkat ya.” Pamit Zakiyah membuyarkan lamunan ngaco abangnya. Dia tak lupa menyalami Uminya dan bergegas mencari angkutan ke kantor. Lokasi rumahnya yang strategis di pusat kota, membuatnya tak sulit untuk segera mendapatkan angkot. Dia bergegas menuju angkot yang menepi kearahnya. Di dalam angkot tersebut terdapat beberapa mahasiswi yang bertengger. Za sempat menghitung jumlah mereka, semuanya lima orang. Dia menempatkan posisinya tepat di samping pintu. Tiganya berhadapan dengannya, sisanya duduk sederet dengannya. Dia menamai mereka komplotan A dan komplotan B karena setiap komplotan sepertinya sibuk masing – masing. Karena bengong tanpa teman, dirinya menganugerahi kesempatan emas pada si sopir untuk satu komplotan dengan dirinya. Komplotan C. Gendeng.

(Komplotan A)
“Tahu gak sih kalian. Semalam aku pergoki Fajar bersama selingkuhannya itu. Ternyata cewek gatel itu si Ida. Junior aku di MIPA.” Cetus si jilbab merah.
“Masaaa??? Yang biasa pake motor beat merah itu kan?? Iiihhh si Fajar liat apanya siih. Jelek juga, berani gatel yah ama cowok senior. Mesti kita labrak tuh” Timpal si mahasiswi yang lain garang.
“Iyah. Semalam aku mau labrak siih, tapi malu aku lagi ama mama.” Jawab si jilbab merah tadi.
“Iih mesti kita kasih pelajaran apapun yang terjadi, biar dia tau berurusan ama siapa. Gila dia, jangan kebiasaan yah.” Kali ini yang bergigi kawat mencetus konspirasi sadis.
“Aku juga berfikiran kayak gitu. Sebentar yah selesai kuliah statistik kita labrak dia.” Yang punya pacar telah memutuskan eksekusi sebuah konspirasi tolol.


(Komplotan B)
“Eh kasian si Dina yah?” Mahasiswi sederet denganku kini yang angkat suara.
“Kasian kenapa emang?” tanya mahasiswi dengan jilbab melingkar bak labirin penasaran.
“Masa kamu gak tahu? Dia udah hamil lima bulan. Dan Gunawan gak mau tanggung jawab. Katanya itu bukan anaknya. Ihhh..”
“Kok bisa sih Gunawan bilang kayak gitu? Brengsek emang laki – laki.” Tanggap si jilbab labirin.
“Bukan gitu, masalahnya aku pernah dengar Dina pernah tidur ama dosen Analis kita biar bisa lulus mata kuliahnya. Mungkin Gunawan gak yakin akibat itu kali.”
“Gitu yah? Ih cantik – cantik gitu yah. Tahu kita yang biasa – biasa aja tapi gak gitu.”
“Iyah, tapi jangan kamu bilang siapa – siapa yah. Antara kita berdua aja, belom ada yang tau. Janji yah.” Katanya GOBLOK.

(Komplotan C)
BINGUNG HAMPIR MAMPUS.
            Dalam pikirnya, Za tak mengerti mengapa mahasiswi – mahasiswi ini harus kuliah susah – susah namun tak bisa mengaplikasikan pemetaan posisi diri mereka sendiri dengan baik. Dia memang pernah mendengar yang lebih sadis dari itu, tapi dia bersumpah demi apapun dia tidak pernah dan tidak  akan pernah terbiasa dengan cerita – cerita tersebut. Harus dia akui kalau benda bergerak ini memang memiliki kekuatan magis layaknya sebuah kamar pengakuan. Para jemaat angkot ini terutama yang betina senang sekali melakukan prosesi sakramen pengakuan dosa. Hanya bedanya yang hebat, sakramen pengakuan dosa dalam angkot ini bukan hanya pengakuan dosa diri tapi lebih banyak pengakuan dosa orang lain. Mereka masih sibuk mencipta alur – alur cerita yang mereka dapati. Tentu saja masih dalam satu settingan tempat. Angkot.
            Bosan, Za mengalihkan perhatiannya pada seorang bocah loper koran yang sedang menjajakan korannya. Mereka sedang terjebak di lampu merah untuk beberapa saat. Dia membeli beberapa dari bocah itu. Dia akan selalu membeli koran dari bocah tersebut setiap kali lewat jalanan itu, walau dia tahu dia takkan pernah kekurangan koran di kantornya. Dia melihat tulisannya yang merupakan headline news itu. Selalu miris, namun kemudian senyam - senyum sendiri. Dia mengingat bahwa Umi dan abangnya adalah pembaca setia semua tulisannya. Terlebih Uminya akan menggunting semua berita Za yang dimuat di koran, entah itu bagus atau biasa – biasa. Uminya kemudian akan menempelnya pada sebuah album yang cover-nya gambar si Za kecil.
            “Ini akan mengingatkan Umi kalo gadis kecil Umi sudah tumbuh dewasa dengan baik.” Kata Uminya suatu waktu ketika dia tanya tentang hobi Umi yang menurutnya lebay itu.
            Angkot yang ditumpanginya berhenti, ternyata tepat di tempat tujuan. Dia bergegas memasukkan koran – koran tadi ke dalam daypack hijau miliknya. Setelah membayar angkot, dia bergerak masuk ke kantornya yang tak begitu besar. Seperti hari – hari laiinya, semuanya sibuk dengan pekerjaannya masing – masing. Dia melirik ke arah kantor Kiki, bosnya itu sudah berada disana sedang sibuk dengan tab –nya. Setelah dia mengisi penuh cangkir spongebob-nya dengan kopi dari coffee maker, dia bergegas ke mejanya dan memulai pekerjaan. Hari ini dia harus menyortir cerpen – cerpen pembaca yang sudah masuk ke e-mailnya untuk dimuat di rubrik sastra besok. Senyum manisnya tersungging mendapati animo pembaca yang sangat baik terhadap rubrik baru itu, hingga tak kurang dari 60 cerpen yang received.
            Za menghabiskan sekian jam dan bergelas – gelas kopi demi membaca cerpen – cerpen itu. Banyak yang bagus menurutnya dan tak sedikit pula yang aneh – aneh yang membuatnya ngakak.
            “Eh kita mau lunch. Gak ikutan?” Tanya Riani, sahabat dan fotografer koran mereka.
            “Thank U yah, kalian duluan aja, tanggung nih.” Jawab yang ditanya.
            “Okelah, jangan terlalu telat makannya, maag kamu kambuh nanti sayang.” Riani menimpali disusul jempol Za yang diangkat tinggi.
            Za bergerak membuat kopi di coffee maker lagi. Dia menyukai kopi, terlebih jika dia sedang serius dengan kerjaannya. Tak terlalu perduli dengan kandungan caffein yang terkandung dalam  cairan jelaga itu. Dia ingin kembali berkutat dengan cerpen – cerpen itu, namun getaran di HP nya menghentikannya. Ada sms. Dia melirik nama pengirimnya, Kiki.
            “Boss..??” Za melihat ke kantor Kiki sebelum membuka pesannya. Ternyata dia tak disana. Isi pesannya menyuruh Za untuk membuka laci meja kerjanya. Agak bingung dengan pesan bosnya, namun dia tetap mengikuti instruksi Kiki. Dia membuka laci sejurus, ada sesuatu di dalamnya, seperti kado mini. Dia agak tak nyaman dengan sesuatu seperti itu, hanya saja mau bagaimana  lagi. Di dalam bingkisan itu ternyata terdapat sebuah cincin sederhana namun anggun. Agak terkesiap dengan pemberian bosnya itu, dia bergegas mencari Kiki.
            “Ini maksudnya apa bos?” tanya Za mengagetkan Kiki. Za ternyata sedari tadi menunggu Kiki dalam ruangannya.
            “Za, aku gak bisa tahan perasaan ini lagi. Aku sayang ama kamu Za.” Ungkap jujur Kiki.
            Za terdiam sejenak, agak tak percaya dengan apa yang barusan di dengar.
            “Za, kamu gak bisa yah baca semua perhatian aku ke kamu? Aku sayang ama kamu sudah lama, Za. Aku hanya gak ingin hubungan kita rennggang hanya karena rasa sayangku.  Maaf, Za.”
            “Aku yang harus minta maaf, Ki. Maaf, aku gak bisa terima kamu.” Za memberi cincin itu kembali kepada Kiki dan berlalu begitu saja.
            “Tunggu, Za. Ada orang yang kamu sayang, Za?” tanya Kiki hampir putus asa.
            Yang ditanya menggeleng.
            “Kamu terlalu baik buat aku, Ki.”
            Sebelum bosnya melanjutkan lebih jauh lagi. Dia permisi untuk keluar. Ternyata Kiki tak ingin pasrah dan mengekori Za sampai meja kerjanya demi mendapat jawaban kenapa ia ditolaknya, Dia menanyai Za berulang kali dan tak dipedulikannya tatapan – tatapan mereka yang penasaran terhadap apa yang terjadi. Za mulai tak nyaman dengan perlakuan Kiki.
            “Kamu benar mau tau kenapa aku nolak kamu. Aku gak pantes buat kamu.”
            “Itu bukan alasan, Zakiyah. Aku sayang kamu. Apapun yang telah terjadi sebelumnya pada kamu, aku akan tetap sayang kamu, Za.”
            Za terlihat agak gelisah tak menemukan alasan lain. Dia lelah berdebat. Dia meraih daypack miliknya dan merogoh sesuatu dari dalam benda itu. Recorder. Dia membuka telapak tangan Kiki dan menaruh benda kecil itu disana.
            “Ini adalah alasan mengapa aku tidak pernah berani menjalin hubungan dengan seseorang. Dengar itu baik – baik, dan putuskan apakah aku masih pantas untuk kamu.” Jelas Za dengan nada aneh di suaranya. Mood kerjanya hari ini langsung hilang tak berbekas. Dia meninggalkan kantor. Meninggalkan Kiki yang masih bingung dan penasaran dengan apa yang sebenarnya ada dalam rekaman itu. Mengapa wawancara kemarin dengan si cabul itu harus mengubah keputusannya untuk menyayangi Zakiyah?


****** bersambung

Senin, 19 Agustus 2013

ORION & MEROPE




  Kraaakkkkkk……….
            Bunyi tulang patah terdengar jelas diluar ruangan 3 x 3m itu. Ruang itu begitu pengap hingga bau darah segar sontak merebak bercampur bau karat kusen jendela. Beberapa pria bergerak sigap masuk ke dalam ruang itu mencegah pendaratan pukulan selanjutnya pada wajah pria setengah baya yang sedang duduk. Pria itu mengelap hidungnya dengan punggung tangan. Wanita yang menonjok tadi sepertinya belum puas melancarkan serangan, kali ini satu pukulan lagi mendarat tepat di pelipis pria tadi. Pria yang dipukul tampak tak senang dengan perlakuan si wanita, hanya saja disana dia sama sekali tak punya celah tuk membalas serangan. Pria yang lain yang sepertinya rekan yang juga bosnya menarik si wanita keluar ruangan.
            “Kamu gila yah Za..?? Lo.. lo… tahu istilah control yourself gak sih..??, Kiki mulai menceramahi.
            “Gue kesel aja liat tuh tua Bangka mesum **jiiing.” Jawab wanita bernama Za itu keras kepala.
            “Lo liat gue, lupa ya tujuan kita kesini? Bahan berita, gali informasi Zakiyah, bukan gali batang hidung orang. Lo kaya amatiran ya lama – lama.” Ceramahnya mengandung emosi sekarang.
            Yang diceramahi diam tak menimpali walau dia ingin sekali mengatakan kalau pukulan itu bukan apa – apa untuk lelaki bangsat seperti pria tadi dan merasa perlu  dengan tangannya sendiri mengambil bagian. Si bos berusaha meredam emosinya sendiri. Dia tampak masuk ke ruangan lagi dan berbincang – bincang singkat dengan pria – pria tegap di dalam untuk kemudian keluar lagi.
            “Kita balik.” Katanya singkat.
            Zakiyah bergegas  meraih tas punggungnya dan memasukkan recorder dan barangnya yang lain kedalamnya. Sebelum keluar gedung, dia sempat berpamitan dengan orang – orang di dalam, kecuali pria dengan batang hidung patah tadi. Dia tergopoh mengikuti langkah Kiki yang panjang – panjang. Telinganya sudah ditebalkan lima sentimeter, antisipasi ceramah lanjutan yang dilancarkan si bos setelah sampai di kantor lagi. Itu sudah lagu wajib ketika dia melakukan kesalahan, dan mantapnya dia telah menghapal seluruh nadanya.  
            Vespa yang dimodifikasi hingga bisa ketahuan sang pemilik penggila Juventus fc itu melaju mulus dijalanan. Hari hampir malam. Jantung jalanan makin berdetak kencang. Udara riang. Panggung jalanan pun semakin marak. Di jalanan itu, Zakiyah bisa melihat ada tukang somai, tukang jagung, tukang soto, dan tukang – tukang lain yang biasa dinas malam mulai menjajakan  masakan terbaik demi kepuasan lidah – lidah pelanggannya. Areal yang mereka lalui kini berada di tepat di bibir pantai ber-view pulau – pulau kecil yang berderet. Nilai plus untuk mereka yang mencari tempat relaksasi ekonomis ketika hari begitu keras pada hidup mereka.
            Vespa Juve ini perlahan menepi di sisi badan jalan.
            “Kita nyantai disini sebentar, baru lanjut ke kantor.” Kata si bos tanpa meminta persetujuan yang diajak. Yang diajak agak lega. Dipikirnya si bos takkan melantunkan ceramahnya yang panjang kali lebar sama  dengan luas di tempat ini.
            Kondisi tempat ini strategis, tak ayal membuat tempat ini jadi incaran yang muda hingga yang tua bertengger. Si bos membeli beberapa buah jagung rebus, sekantong kacang yang juga rebusan serta dua botol coca – cola. Mereka duduk di talud yang less light, berdua. Sambil meneguk minuman itu, si bos merogoh sesuatu dari day pack hitam miliknya. Sebuah kamera Nikon D900 dan tripod. Sejurus kemudian dia mulai sibuk dengan jeprat – jepret. Masih cuek.
            Angin menyinggit dedaunan, Zakiyah membiarkan angin itu meliuk – liuk mempermainkan jilbabnya. Debur ombak dan malam rebah mencipta harmoni indah. Dia menikmatinya. Sangat.
            Tombol shutter release dipencet dan KLIKKK….
            Lampu flash menyilaukan mata Zakiyah. Tak sadar dia dijadikan objek candid. Kiki melihat hasil jepretannya sedikit monyong. Yang dijepret merasa agak tak nyaman tapi matanya kembali menyetubuhi kitab alam yang membentang jelaga diatas sana.
            “Suka bintang?” Tanya Kiki sambil ikutan melihat ke konstelasi kompleks milik Sang Tuan itu. Kiki mencoba mereda ketegangan yang sedari tadi memang dia ciptakan.
            “Ki, jangan marah lagi yah. Gue minta maaf, Ki. Gue gak akan ngulang lagi. PROMISE.” Rengek Zakiyah keluar topik.
            “Hmm… Gue harap lo gak ulangi lagi kejadian kaya tadi. Kalo ada tuntutan, bukan cuma lo yang kena getah. Gue tahu perasaan lo tapi kita professional. U got it ? Bentar malam deadline.” Jawab si bos,
            “Thank You yaaahhh…..” Jawab Za singkat.
            “Lo belom jawab pertanyaan gue. Suka bintang?”
            “Lumayan, terutama yang itu.. rasi bintang Orion. Sang Pemburu.” Kiki mengikuti arah telunjuk Zakiyah.
            “Alasannya?” Kiki penasaran.
            “Mitosnya panjang. Tapi gue suka perjuangan Orion untuk mendapatkan cintanya, Merope.. yahhh walau berakhir sad ending. Gue pengen punya cowok kaya dia.”
            Kiki tertegun saja demi mendengar Zakiyah berceloteh.
            “Yang itu Alnitak.. yang itu Alnilam… dan itu Mintaka. Sabuk Orion.” Lanjut Zakiyah sambil menunjuk kearah tiga bintang sejajar yang lumayan terang. Kiki keheranan wanita disampingnya itu bisa menghapal dengan benar nama – nama bintang itu. Dia agak menyesal memancing wanita ini berbicara tentang bintang, tapi terbayar dengan wajah binar yang merona itu.
            “Kalo itu Betelgeuse, dan ituu….. Rigel. Hmmmmm… bagus yaahh.. yang paling excited itu orionid meteor shower. Hujan meteor itu biasanya di bulan Oktober. Per jamnya bisa terlihat sampai 30-an meteor loooh.”
            “Waahh.. keren tuuhhh.” Tanggap Kiki dan Zakiyah sepertinya bangga berhasil membuat bosnya takjub. Zakiyah meneguk satu tegukan coca cola dan kemudian melanjutkan.
            “Gue punya mimpiiiii…. Suatu saat nanti gue bakalan berburu tuh Orionid Meteor Shower dengan Orion gue. Dan tempat yang gue pilih yaitu Puncak Dewi Anjani, Rinjani.”
            Orion lo?” Tanya Kiki gak nyambung.
            “Iyah.. orang yang gue sayang, yang bakalan nerima gue apa adanya, walau dia dah tahu kebenaran tentang gue dan tetap memperjuangkan cinta kita. Just like the Orion”. Jelas Zakiyah memandang penuh makna rasi bintangnya itu. Sekali lagi dia biarkan angin malam itu menyetubuhi tiap lekukan wajahnya. Sungguh dia tak tahu menahu bahwa lelaki di sampingnya itu betapa mengaguminya dalam diam. Berharap menjadi Orion yang menemaninya di puncak Rinjani.
            Ich habe dich nie je so geliebt, ma sÅ“r
Als wie ich fortging von dir in jenem Abendrot”. Kiki mengucapkan seakan – akan untuk dirinya sendiri, namun dia yang tahu benar bahwa syair Bertolt Brecht itu ditujukan pada Zakiyah.
Sementara Zakiyah pernah mendengar syair itu, tapi dia sungguh tak memahami dan Kiki menolak memberitahunya.
“Nanti juga lo tahu artinya, Za.”

*****************************

            BOCAH TUJUH TAHUN DIPERKOSA DAN
DIBUNUH PAMAN KANDUNGNYA SENDIRI.
Sebuah headline yang membuat hati siapapun miris membacanya, terpampang dengan font besar – besar dan tebal di MALUT POS pagi ini. Reihan mendapati Zakiyah Zaidawi, nama adiknya sebagai reporter berita tragis itu.
“Zaaa……….. ini berita benar yah?” Dia sedikit berteriak pada adiknya.
“Perlu ditanya yah bang? Apa gue perlu ngambil recorder ama dokumentasi wawancara nya?” Jawab yang ditanya sambil memposisikan diri di samping abangnya. Dia tarik perlahan nescafe cappuccino panas dengan bibirnya yang manis, agak sewot diragukan kapabilitasnya.
“Ihh ketus amaat, cuma nanya juga. Gak percaya aja kalo di daerah sini sudah ada yang berani berbuat seperti ini. Sudah seperti di kota – kota besar aja kriminalitasnya. Astagfirullah.” Reihan ikutan menyeruput kopi hitamnya.
“Gue udah kerja di media ini 5 tahun. Dan berita ini…………………”
Dia menghela nafas sejenak dan Reihan menanti kata – kata selanjutnya.
“Gue harap dia mendapatkan hukuman yang setimpal selain tonjokan gue.” Katanya datar. Ada sesuatu yang dalam ketika dia mengucapkan hukuman yang setimpal.
“Kamu sempat nonjok?” Tanya abangnya excited.
“Gue tonjok pas wawancara di kantor polisi. Batang hidungnya patah dan pelipisnya sobek.” Jelasnya singkat sambil menunjuk hidung dan pelipisnya. Dia kemudian berlalu meninggalkan abangnya yang diam – diam bangga dengan sikap adik semata wayangnya itu. Sepeninggal Abahnya, keduanya tinggal bersama Ummi. Ummi menikah diusia 18 tahun dan ketika ditinggal Abah, Ummi pun masih tergolong muda dan cantik. Ummi bisa saja menikah lagi dengan beberapa pria yang mendekatinya hanya saja beliau telah memegang prinsip untuk tidak menikah lagi.
“Ummi mencintaimu Abimu sampai Insya Allah kita akan dipertemukan lagi.”
Begitu kata Ummi ketika Reihan dan Zakiyah mengutarakan kesediaan mereka menerima Abi baru mendampingi Ummi. Dan Reihan begitu yakin jika gen Ummi sangat dominan pada Zakiyah hingga begitu keras kepala dan berpendirian teguh.
Tak berselang lama, Za bergegas ke kantor dengan setelan wajibnya. Jeans, T-Shirt berbalut kemeja dan sepatu kets serta jilbab merah maroon yang tak ketinggalan menghiasi kepalanya. Reihan begitu menyayangi adiknya itu. Za memiliki kulit langsat Ummi-nya dan wajahnya dicipta seperti keluarga Abi yang Arabian. She’s almost perfect as a woman. Satu hal yang sampai sekarang buat Reihan bingung. Adiknya itu belum pernah terlihat sama sekali menggandeng seorang teman pria spesial walau umurnya sudah siap untuk menikah. Jika alasannya tak laku, itu tak mungkin. Teman- teman prianya yang datang ke rumah saja, tak seorangpun yang melewatkan episode tebar pesona pada adiknya itu, kecuali jika mereka yang Guy.
Apakah adikku yang lesbi?



                           *******bersambung.


Jumat, 05 Juli 2013

Sepenggal Kisah

            Aroma kopi pahit menyeruak masuk ke hidung kemudian diteruskan ke jantung hingga degupnya tak stabil. Ekstase. Kuseruput satu tegukan. Cairan jelaga ini tak pernah berhenti tuk kukagumi caranya menyalurkan kedamaian ke tiap detakan nadiku, walau mungkin itu lebih merupakan sugesti diri. Udara masih begitu dingin. Mentari tak mampu menerobos awan mendung yang menggerayapi langit. Hujan yang baru saja berhenti menyisakan lembab pada daun – daun dan tanah hitam disekitarku. Aku suka aroma tanah basah, juga harumnya kulit pepohonan yang menjulang. Jika kebanyakan orang lebih memilih cuaca cerah untuk menyetubuhi puncak, maka aku akan lebih jatuh cinta pada gunung ketika hujan turun.
            Tegukan kedua. Kubuang pikir pada ayah-ku di bawah sana. Apakah dia sedang mengkhawatirkanku? Tidakkah dia menghubungiku? Tentu saja tanya yang kedua tak dapat kujawab sendiri karena sedang ku-non aktifkan handphone-ku. Kuingat lagi kemaren pagi pertengkaran luar biasa terjadi antara ayah dan aku hingga berujung pada pengakuan semesta bahwa aku anak haram ibu. Pada kenyataannya tak usah diucap pun, aku cukup tahu dari induk mana dan seperti apa aku diretas. Aku pun telah bersepakat dengan hati bahwa kenyataan itu adalah kelas khusus yang digelar Sang Tuan tuk mendewasakan diri ini. Tapi sungguh mati, aku benar – benar tak ingin hal itu yang keluar dari mulut ayah sendiri. Dan ketika hal itu telah dilakukan, aku hanya bisa kabur keluar rumah. Carrier yang memang telah siaga 3 di salah satu sudut kamar kusambar dan mulai mendaki sendirian melewati jalur desa Moya tanpa ijin. Aku akan seperti orang gila dan tak peduli apapun jika sedang bermasalah dengan ayahku, bahkan yang paling berbahaya sekalipun. Kususuri sore jelang magrib ditemani cahaya senter plus headlamp. Lahan – lahan luas pepohonan cengkeh milik warga kulalui, perlahan namun pasti POS – POS kulewati, barangka satu, dua kemudian tiga berhasil kulewati. Aku terus berjalan di melewati track yang telah kuhapal betul ini dan tibalah aku di sekitar bahu gunung Gamalama, tepatnya tempat yang oleh pendaki disebut terminal. Disebut terminal karena disinilah dua jalur pendakian yaitu jalur dari desa Moya dan desa Marikurubu, keduanya bertemu sebelum mencapai puncak. Kugelar doom ku disudut kiri terminal. Beralas matras dan berbungkus SB aku menikmati malam dari sini. Langit diatas terbentang cerah penuh gemintang. Bulan terlihat lebih besar dan mengagumkan. Rasa sedihku kini tak kurasa lagi.
            Aku berlagak sok tahu dengan menerka bahwa malam tadi sudah masuk pada salah satu malam dari malam Pat Ngiat Chun Chiu. Begitu kata teman China ku. Malam di bulan ke delapan Imlek yang dipercaya sebagai bulan Dewa Dewi. Pada malam – malam seperti ini pintu khayangan dibuka dan para dewa turun ke bumi untuk melawat umat manusia. Aku pikir juga, karena posisiku lebih dekat ke langit mungkin para dewa itu takkan melewatkanku jadi aku sengaja tak tidur hingga pagi. (:D)
            Kulihat arloji di tangan, pukul 09.00 pagi. Aku tak ingin mendaki lagi, aku pun belum ingin turun gunung. Aku benar – benar tak ingin beranjak dari tempatku saat ini. Supply air, makanan dan kopi ku bahkan masih cukup jika patok doom ku masih tertancap satu hari lagi di tempat ini. Kuikat hammock di pohon dan kunyamankan tubuhku tak jauh dari doom. Kuraih sebuah novel dari balik bilik kecil carrier diantara persediaan pembalutku. Sebuah novel terjemahan karangan sastrawan Mesir Ali Alghareem. Novel dengan judul “Pembawa Kabar dari Andalusia” ini sedikit banyak membuatku impressed. Ibnu Zaidun tokoh utamanya yang membawa mimpi besar untuk kegemilangan Islam di bumi Andalusia atau sekarang kita lebih mengenalnya dengan sebutan Spanyol. Pusat warasku tak berporos pada si Ibnu Zaidun ini, namun pada seorang wanita cerdas dan tanggu. Naila Al Dimasykia. Seorang wanita keras kepala yang dijuluki mutiara Cordova, dimana setiap kata yang mengalir dari bibirnya yang indah membuat orang akan betah mendengarkan. Bahkan ketika Ibnu Zaidun terpikat muslihat Aisyah binti Galib yang wajahnya refleksi eksotisme Arab dan Spanyol. Namun, Naila Al Dimasykia jua lah yang menyelamatkannya.
Sosok seperti Naila ini sedikit banyak memotivasi diriku untuk menjalani hidup dengan kuat.  Toh, ketika dalam rapuh aku dan Naila Al Dimasykia sama – sama punya cara sendiri untuk melewatinya. Dan inilah aku, beginilah aku.
Kuseruput kopi ku yang telah dingin. Mataku masih menafakuri kata demi kata yang digulir penulis itu hingga tak terasa mentari telah tegak lurus dengan kepalaku. Sinarnya tak sampai menembus pepohonan yang meneduhiku, aku masih nyaman dengan posisiku. Kutenggelamkan wajahku dibalik novel. Tidur.
Suara berisik beberapa pria membangunkanku dari tidur. Perutku bernada lagu lapar. Kulirik jam di tangan yang menunjukkan pukul 5 sore. Pantas saja. Kuubah posisiku yang tadinya tidur menjadi duduk. Tampak tiga pria sedang asik ngopi di dekat doom ku. Ketiganya sepertinya terperangah melihatku. Mungkin inilah kali pertama melihat seorang gadis gila di tengah hutan sendirian. Benar saja.
“Kamu sendirian?” Tanya yang berjenggot.
“Iyah bang.” Jawabku singkat sambil menghampiri dan menyalami mereka satu persatu.
“Dari mapala mana?” Tanya yang botak.
“Hehehe… aku bukan anak PA. kebetulan saja suka naek gunung.” Jelasku menahan lapar.
“Oooh,… cukup berani, kamu sendirian kesini.” Dia mungkin sedang memuji. Tangannya cekatan mengangkat teko kecil diatas kompor gas portable di depannya. Air itu kemudian dituangkan dalam gelas yang telah diisi 2 sdt kopi, 1 sdt gula pasir, dan seujung sendok gula merah halus juga tak lupa pula beberapa biji cengkeh. Wangi kopi bercampur cengkeh menyeruak. Disodorkannya gelas itu padaku.
“This is it.. Kopi cengkeh ala chef Kidan,” presentase dengan senyum lebar memamerkan gigi putihnya sudah sama persis chef di tipi.
“Thank’s yo.” Ingin benar aku menolaknya karena seharian ini hanya kopi yang masuk di kerongkonganku. Namun, aku penasaran dengan rasa kopi buatannya. Ketiga orang itu baru aku tahu kemudian bernama bang Kidan, bang Koko dan bang Dicky. Kuseruput kopi itu. Lagi. Rasanya agak aneh, tapi khas. Aku suka. Kupuji kopi buatan bang Kidan. Dia berdiri dan berlompat – lompat layaknya anak kecil yang karyanya dipuji. Gila. Inilah yang aku sukai dari persaudaraan orang – orang yang menamai diri mereka PA. Rasa kekeluargaan yang terikat erat walau belum pernah terikat ataupun bertemu sebelumnya.
“Setelah ngopi mungkin kita akan langsung tembak puncak. Kamu ikut dengan kita aja, pasti asik. Rencananya lusa pagi baru kita balik” Sahut bang Koko.
“Aku mungkin tak akan lanjut ke puncak bang, mo langsung turun.” Kugoyang gelas  kopiku hingga tercipta riak – riak kecil.
“Aaah payah nehh.” Protes ketiganya. Aku hanya tertawa kecil. Kita tertawa lepas bebas dipelukan alam dibalik canda mesra persaudaraan. Sebelum mereka melanjutkan perjalanan, kita saling bertukar nomor hape dan mengusung rencana tuk ngumpul lagi ketika dah turun ke peradaban. Kusalami ketiganya. Ketiganya menjitak kepalaku.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dan aku berencana turun. kubuka resleting doom dan mencari hape yang kubuang sekenanya. Ku-aktif-kan. 20 pesan masuk. Tak sempat membuka pesan sederet yang dikirim.
TOMI – TOMI calling….
Pacarku.
Kujawab telfonnya dan seribu satu ocehan dilancarkan padaku. Lelakiku. Dia begitu khawatir akanku. Kuyakinkan dia bahwa aku baik – baik saja dan tak perlu menyusul karena aku akan segera turun gunung. Dia kemudian berkata setengah memohon :
“Manisku, keluarga adalah segalamu, ayahmu adalah segalamu. Pulanglah manisku. Puncak tertinggi ada pada hatimu, taklukkan itu sayang.”
Belum selesai dia menelepon dan di layar hape tertulis:
PAPA waiting….
Kujawab telfonnya. Dia menangis tersedu – sedu memohon kepulanganku. Aku katakan padanya aku dalam perjalanan pulang.