Kamis, 30 Mei 2013

Wanita itu

                Ngek… ngek… ngek… bunyi jendela kamar tertiup angin sepoi. Kusennya yang sudah tua membuatnya harus melantunkan nada yang sama beberapa tahun terakhir. Kubiarkan saja bunyi jendela itu bermelodi dengan bunyi mesin jahit nenek tiri yang seangkatan kusen jendela tadi. Aku begitu tenggelam sejenak membiarkan harmony itu masuk jauh kedalam menyentuh hatinya.
Tua... Karatan... Mati… Kubur... Entah apalagi... Semuanya bergantian masuk dan keluar otak mungilku. Aku baru berumur 11 tahun tapi entah kenapa imagiku lari kiri kanan naik jauh diatas parameter imajinasi bocah seumuranku, mungkin karena lingkungan tempatku tinggal di penuhi orang dewasa. Namaku Indra Lesmana. Entah dengan pertimbangan apa orang tuaku menamaiku sama dengan aktor dan pemusik terkenal itu. Mungkin saja – mungkin- mereka menaruh harapan besar pada pundakku yang cungkring ini agar kelak menjadi seorang artis. Dan seiring bertumbuhnya tulang belulangku, jelas tak nampak barang sedikitpun bakat yang kumiliki yang sejurus dengan ekting – ektingan apalagi musik. Kasih gitar padaku, dan saat itu pula akan kuputus senarnya.
Ingin benar aku tanyakan pada orang tuaku perihal penasbihan nama cantik itu, namun ayahku entah dimana dan ibuku sama tak jelasnya. Pernah nenek berucap bahwa ibuku tinggal di pusat kota Jakarta sana. Namun, tak pernah sekalipun dia menelepon apalagi menjengukku. Aku menerka - nerka ayahku pasti kurus sepertiku dan rambut keriting ini warisan dari ibuku.
Kubuang pandang ke nenek tiriku yang sedari tadi menjahit tak jelas apa yang hendak dijahit.
Lagi galau. Aku membatin.

Beberapa menit sebelumnya….
Tok.. took.. took… Terdengar seseorang mengetuk pintu dengan kasar. Pertamanya nenek tak mengindahkan ketukan itu dan tetap pada ketiak baju sobek yang sedang dijahitnya. Tapi bunyi itu berlanjut dan tampak menganggu. Nenek membuka pintu dan disana berdiri dua orang yang sepertinya polisi.
“Selamat siang, bu. Kami dari kepolisian”. MEMANG POLISI.
“Iyah, ada yang bisa saya bantu?”. Suara tuanya bertanya agak ragu.
“Apa benar disini rumah bpk. Anton?”. Sekarang mereka menanyakan suami si nenek. Kakek kandungku.
“Iyah, benar. Saya istrinya. Kenapa anda – anda ini menanyakan suami saya ya?” Tanya nenek lagi.
“Begini ibu, suami anda tertuduh melakukan pembunuhan terhadap temannya. Dia tidak terima kalah judi dan menggorok leher temannya itu.” Terang sang polisi tegas dan lugas.
Nenek berusaha memberi tenaga lebih untuk lututnya yang memang sudah tak bertenaga itu. Namun sialnya, kunciannya belum sempurna dan baut lututnya terlanjur longgar. Brrruuuukkkkkkkkkkk… nenek pingsan. Aku linglung.

****************************
            Mie bengkak, ikan asin, dan nasi sepiring tergeletak diatas meja makan ini. Berdua dengan nenek kami makan dengan penuh hikmat, mungkin karena sedang merasa gundah. Selama makan, nenek terdiam dan aku pun ikut – ikutan diam.  Aku tak bernafsu sedikitpun untuk memamah makanan tak bergizi ini, hanya saja daripada duduk melongo disini.
            “Khhmmm… khmmmm..” Batuk nenek mengisi ruang kosong antara kita. Aku mengangkat bola mataku sambil masih mengunyah nasi tak enak.
            “Ndra,.. sepertinya kamu tahun ini tidak bisa mengikuti ujian. Kita tak punya uang sama sekali.” Suara beratnya menghujam sampai ke titik terdalam hatiku.
            “Kakekmu dipenjara dan nenek tak punya uang untuk bayar uang sekolahmu, nak. Nenek harap kamu bisa mengerti.” Terang nenek lurus.
Mie yang bengkak yang malas kusentuh tadi, kuembat hingga gigitan akhir. Kurasakan sakit disini tiba – tiba, dari balik dada kurus ini. Tak kusangka, tetesan bening asin keluar dari mataku namun cepat kutepis. Aku tak mampu berkata – kata lagi. Ingin kumenangis sekeras – kerasnya tapi aku tahu benar tangisan itu akan tenggelam diantara perumahan padat ini dan… selesai. Kupandangi wajah nenek lekat dan berharap dia bisa berubah layaknya peri yang meniupkan kekuatan magis masuk kedalam jiwaku. Aku berharap dia bisa berkata padaku bahwa ada jalan lain hingga aku tak putus sekolah sedini ini. Namun yang diharapkan berbanding terbalik, nenek masih terdiam dua ribu bahasa. Tak ada peri dengan kekuatan magisnya, tak ada rapalan – rapalan mantra sakti mandraguna juga tak ada rayuan apalagi pembesaran harapan. Aku luruh. Aku sakit didalam sini, tapi harus kepada siapa mengadu. Nenek kutinggalkan sendiri dalam kediamannya didepan meja makan itu.
Tangis ini rasa – rasanya tak dapat kutahan lagi, Aku tenggelamkan wajahku pada bantal dan kubungkam mulutku keras, kumenangis sejadi – jadinya malam ini. Kata – kata guruku makin terngiang jelas di tifa telinga tentang batas pembayaran uang ujianku yang tinggal beberapa hari lagi. Aku benar – benar tak ingin putus sekolah dan berakhir di jalanan.
Ma.. pa… dimana kalian..?? aku butuh kalian. Tidakkah kalian merindukanku atau sekedar mengingatku? Ma.. pa.. Ratapan singkat itu kuulang – ulang hingga hampir tertidur sedang jam di dinding baru menunjukkan pukul 07.40 malam. Beberapa saat kemudian, kukuatkan diriku sendiri. Aku bangkit, kemudian..
“Aku, Indra Lesmana, aku rapalkan mantra magis dari Tuhan untuk diriku sendiri. Aku tak ingin dan tak akan menyerah untuk sekolah. TIDAK AKAN PERNAH.” Kataku lantang menengadah  langit – langit kamar yang tua. Kupaksa otak mungilku berputar – putar bagaimana caranya untuk mendapatkan beberapa lembar uang seratusan ribu itu dalam beberapa hari.
Ngamen. Ngemis. Ngibul. Nyopet. Ngepet. Semuanya masuk dan keluar kepalaku. Jika ngamen dan ngemis, butuh berminggu – minggu bahkan berbulan – bulan. Ngibul dan nyopet, aku tidak berani. Kalau ketahuan, massa bisa meremuk badan kecil cungkringku hingga sisa abu. Sedang ngepet, aku tidak ingin kastaku turun menjadi hewan hidung pesek itu.
Arrrrghhhhhhhhhhhhh……………. Aku menggerutu dalam hati. Semangat yang tadi telah berkobar kini perlahan hampir meredup lagi demi tak kudapatkan titik terang. Kembali kubanting diriku ke tempat tidur lapuk itu, kutengadah kitab hitam luas diatas sana saksi kehidupan yang telah tua.
Tuhaaannnnn… aku ingin sekolah Tuhaan. Jika aku dilahirkan untuk kau buat terlantar dari mereka yang melahirkanku, maka aku hanya ingin lebih baik dari mereka. Tuhaaaan. Kukirimkan pesanku padaNya lewat pesta gemintang malam ini dan berharap Dia dengan SegalaNya bisa mendengarku.

************************
            07.00 pagi.
            Angin dingin menerpa wajahku. Kurasakan gelak ngantuk masih menertawakanku yang kumul. Kubuka perlahan mataku. Orang – orang sudah mulai ramai. Aku bingung, tapi tak membutuhkan waktu lama untuk menyadari aku sudah berada di stasiun Tambun pagi ini. Nadi stasiun sudah mulai berdetak seiring jahatnya hidup mencekik aku dan mereka yang tak ber-uang. Ada yang menjajakan rokok, yang lain menjajakan kopi, dan selebihnya ibu – ibu yang menjajakan nasi bungkus ataupun jagung rebus. Kulihat kakiku dan merasakan perih disana. Baru kuingat, aku berjalan semalaman menyusuri rel kereta dari rumah kecil kakekku di Rawa Pisang sana hingga tak sadar telah sampai di stasiun ini. Perjalanan yang lumayan jauh untuk kaki kecil anak SD kelas 6 sepertiku. Aku berjalan dari jam 08.00 malam hingga jam 03.00 pagi sebelum akhirnya tertidur tanpa selimut ataupun koran yang mengalasi di bangku panjang stasiun. Perjalanan nekat dengan satu misi pasti di server otakku. AKU HARUS TETAP SEKOLAH. Mungkin aku terlanjur bodoh ataupun masih naïf karena tak terlintas di otakku barang sedikit tentang para preman yang memalak, atau psikopat gila yang bisa saja mensodomi dan mencincang tubuhku jadi beberapa bagian dan kemudian menghanyutkanku di gorong – gorong.
Kubilas wajahku yang kotor seadanya dengan aqua sisa yang bertengger di bangku stasiun. Baju kaos dalam yang sedang kukenakkan kugunakan sebagai kaos multi fungsi untuk mengelap wajahku. Aku tak kantuk lagi tapi harus ku putar otakku untuk bagaimana caranya  bisa naik ke kereta sedang aku tak punya uang sepeserpun. Kupandangi loket tiket yang disana sudah ada barisan panjang manusia. Tidak sepertiku, mereka mungkin hanya ingin pergi berlibur.
            Bau keringat, bau kaos kaki busuk, bau parfum murahan, bau pesing dan bau – bau lain semuanya bercampur jadi satu dalam kereta ekonomi menuju stasiun Manggarai ini. Aku begitu kumul, hanya berbalut baju kaos dalam, celana pendek dan tanpa alas kaki. Setelah berjuang berhimpit diantara para penumpang untuk naik kereta dan kini aku duduk terjepit diantara badan – badan besar ini. Kereta melaju cepat, meninggalkan stasiun Tambun yang ramai di pagi ini. Aku telah putuskan sesuatu yang besar dalam hidupku. Sesuatu yang kupertaruhkan demi ijazah SD ku. Aku tidak ingin putus sekolah. Suara itu berulang – ulang menggerogoti hatiku bagai virus yang cepat merambat ke psikomotorikku hingga membuat kakiku melangkah sejauh ini. Aku akan mencari ibuku ke pusat kota sana.
            “Thamrin Residence Apartment, Jakarta Selatan”. Kuingat kembali sebuah alamat yang pernah diucap nenek. Disitulah ibuku tinggal sekarang. Bagi orang lain, mungkin itu hanya merupakan sepenggal alamat, tapi tidak bagiku. Sepenggal ingatan tentang alamat yang bahkan tak kutahui artinya itu merupakan tiket penentu masa depanku. Nantinya di ujung pencarianku, tiket ini akan berlaku atau hanya sepenggal ingatan yang perlahan harus kuhilangkan. Sekali lagi urusan di batas jalan itu kuserahkan pada wanita itu dan Tuhan yang sedang mengawasiku dari antah berantah.
Ma… Kali ini aku tak datang untuk mengemis kasih darimu, aku juga tak akan berlutut agar kau hidup bersamaku, namun aku datang untuk mengambil sedikit –sedikit saja- milikku darimu sebagai tanggung jawab aku di-ada-kan didunia. Jika saja proses aklamasi untuk hidupku, aku hadir juga. Aku lebih memilih untuk tak dilahirkan. Batinku menggelegar tangguh dan egois. Perumahan berjubel di luar sana terlihat membentuk lukisan abstrak panning yang indah bagian dari tua nya dunia. Yeah indah, mungkin itulah yang harus kuindahkan dibandingkan tak ada yang dapat kuindahkan dari bumi biru tua ini.

 ******bersambung