Rabu, 05 Maret 2014

Kanvasiana


            Gadis itu menyulut Marlboro merah dan menyetubuhi bibirnya dengan asap  nikotin itu. Dia tarik perlahan dan menikmatinya. Di dalam asbak di atas meja telah penuh dengan puntung rokok. Wajah manisnya terpulas guratan bekas cat minyak warna warni, sedang tangannya memegang kuas cekatan sekali memoles kanvas. Kuperhatikan ia lekat, ia sepertinya masih terbawa imagi yang dituang pada kanvas di depan itu, sesekali dia memonyongkan mulutnya. Pernah suatu waktu dia berkata padaku bahwa kanvas adalah dunia kedua baginya. Jika sedang terlena dengan dunia keduanya itu, ia bahkan tak akan perduli jika iblis sedang bercinta di sampingnya. Aku senang menemaninya ketika dia sedang melukis, lebih banyak aku diusir. Sekarang, dia mengijinkan aku menemaninya tapi dengan syarat aku juga ikut memegang kuas agar tanganku sibuk lebih dari mulutku. Aku pernah bertanya padanya mengapa dia sangat suka melukis.
            “Manisku, aku percaya tiap manusia punya cara sendiri untuk beribadah, kadang mereka semua terjebak pada satu arahan sosial yang hati mereka pun tak semuanya ikhlas. Dan ini ,, ini bentuk ibadahku. Ibadah yang seikhlas - ikhlasnya” Begitu kurang lebih jawabannya. Aku agak bingung, ahh.. aku memang kebingungan sampai sekarang. Ibadah yang seikhlas – ikhlasnya apa? Ibadah untuk siapa? Tauuu aahh… Dia tak pernah ingin menjelaskan apa maksudnya padaku, katanya kelak jika aku telah menemukan sebuah passion mendaging sepertinya baru aku akan mengerti dengan sendirinya. Dari penuturan – penuturannya yang aneh aneh tentang ibadah itu, aku pernah menyimpulkan bahwa kakakku itu seorang atheis. Kata atheis itu sendiri aku dengar dari guru Agamaku di kelas. Ketika aku sampaikan padanya perihal atheis itu padanya, dia tertawa sejadi - jadinya. Dia memang tak pernah berhenti membuatku terheran – heran, terkagum – kagum, dan ter – ter yang lainnya.
            “Siapa bilang aku atheis? Jikalaupun aku atheis mengapa harus dipersoalkan? Sepanjang aku tak menyakiti orang lain kan?” Sedikit bertanya dia dan aku ikuti dengan anggukan goblok kosong interpretasi. Aku biasanya hanya mampu menelan bulat – bulat tanpa dapat mencerna.
            “Aku lebih memilih berdiri diatas nama iblis untuk melakukan sesuatu yang memalukan daripada harus berdiri menggenggam panji – panji Sang Tuan dan menghalalkan segala cara tuk saling menyakiti sesama kita.” Lanjutnya sambil tersenyum.
            Rokoknya telah habis dihisap kini dan lukisannya telah sempurna. Detail lukisan dengan dominasi warna coklat tua itu terlihat indah. Kakakku suka sekali melukis wajah wanita. Itulah yang selalu aku lihat pada setiap lukisannya, berbagai potret dan serba serbi wanita. Lukisan indahnya selalu dipajang di galeri atau pameran seni di kota. Bisa dibilang, kakakku kini seorang professional. Dari hasil penjualan lukisan itu, kakakku bisa membiayai sekolahku dan hidup kita berdua setelah kita ditinggal mati ayah. Ayah seperti juga kakak, beliau juga seorang pelukis, pelukis yang nestapa hidupnya. Darah ayah mengalir langsung dan kental ke darah kakak hingga bakat yang dimiliki kakak tak jauh dari ayah. Sedang aku, encer saja darah ayah pada darahku hingga aku hanya bisa mengapresiasi hasil – hasil karya ayah dan kakak.
            Nama kakakku, Kanvasiana. Mungkin ayahku menaruh harapan besar terhadap kakakku agar menjadi pencinta kanvas dan seni lukis seperti dirinya. Bisa aku dapati itu jadinya kakakku sekarang ini. Kakakku adalah jiwa yang terbang bebas, melanglang buana sesuka hati. Aku sangat mencintai dan bangga akan dia. Banyak orang yang mencibirnya wanita lesbian. Tak ayal suka sekali dia menggambar wanita, beberapa diantaranya bertelanjang bulat. Lama kuperhatikan, baru kusadari beberapa wanita itu yang pernah masuk dan keluar rumah kita bersama kakak. Awalnya aku sangat malu mendapati kenyataan bahwa dia seorang lesbian. Panggilan “si adik lesbian”-pun seakan melekat di jidatku, hingga suka sekali manusia – manusia itu memanggilku dengan sebutan itu.
            Waktu berlalu, aku telah mampu menerima kekurangan kakakku itu. Pikirku, kakak juga pasti tak ingin keadaan seperti ini hanya saja gejolak itu terlalu kuat tuk ditebas. Aku sudah bersepakat dengan hati bahwa dia tetaplah manusia terbaik utusan Sang Tuan pengganti ayah dan ibu yang sangat kusayangi. Dia selalu sabar dengan segala kekuranganku dan kini saatnya aku menerimanya.
            “Mana gambarmu, Aisyah?” Tanya dia kini.
            Dengan wajah dan tangan yang belepotan cat, kutunjukkan hasil lukisanku padanya dengan sunggingan senyum. Ada beberapa ekor kera kugambar diatas pohon. Entah darimana asal ide untuk menggambar kera – kera itu, tiba – tiba saja mereka ada disana. Aku tahu pasti dia menertawanku. Benar saja, tak butuh waktu lama untuk melihat lesung pipinya ketika tawa renyahnya membahana.
            “Aisyah, kamu mengingatkan aku pada ayah.” Katanya masih tertawa.
            “Kenapa memangnya?” Tanyaku senang. Aku senang lukisanku menjadi mesin waktu untuk kakak dan ayah. Dia membakar rokoknya sebatang lagi dan duduk menyandar tubuhnya di dinding.
            “Ayah bilang, kebanyakan orang ngakunya saudara itu layaknya kera. Ketika angin sedang kencang bertiup maka mereka akan beramai – ramai saling menggenggam erat di pohon niscaya tak jatuh ke tanah, tapi ketika angin sedang teduh mereka akan saling bermusuhan. Ayah tak ingin kita berdua seperti itu.” Dia mengepulkan asap rokoknya santai.
            “Aku juga tak ingin, Kak.” Tiba – tiba aku takut kehilangan kakak. Dia berdiri mengambil lukisanku, melihatnya beberapa saat sambil tersenyum dan membingkainya dengan cadangan bingkai yang tersedia.
            “Aku akan mengikutkannya pada pameran solo ku minggu depan.” Katanya mantap.
            “Kali aja ada yang beli yah kak?” kataku berbinar.
            Dia menghampiriku dan mengusap kepalaku pelan. Kita berdua menatap lukisanku yang sudah terbingkai.
            “Ada lukisan yang takkan pernah dipindah tangankan oleh sang pelukis walau ditawar dengan harga selangit dua bumi pun, manisku. Dan punyamu ini harusnya menjadi salah satunya, setidaknya buatku.”
Dadaku kurasa membesar. Kini kulihat kembali hasil lukisannya yang masih berada di easel.
            “Kak.” Panggilku ketika dia bergegas akan pergi mandi. Dia menoleh dengan indah.
            “Baru pertama kali aku melihat kakak melukis potret lelaki selain ayah. Siapa dia, kak?”
            “Belum pernah ada pria yang mampu membuat indah kanvasku selain ayah, dan entah mengapa dia mampu.” Jelasnya penuh makna. Aku dapati jelas lelaki dalam lukisannya itu memiliki mata yang teduh dan mendamaikan. Kakakku melukisnya dengan sangat indah.
            Apakah kakakku kini jatuh cinta pada seorang pria?