Senin, 19 Agustus 2013

ORION & MEROPE




  Kraaakkkkkk……….
            Bunyi tulang patah terdengar jelas diluar ruangan 3 x 3m itu. Ruang itu begitu pengap hingga bau darah segar sontak merebak bercampur bau karat kusen jendela. Beberapa pria bergerak sigap masuk ke dalam ruang itu mencegah pendaratan pukulan selanjutnya pada wajah pria setengah baya yang sedang duduk. Pria itu mengelap hidungnya dengan punggung tangan. Wanita yang menonjok tadi sepertinya belum puas melancarkan serangan, kali ini satu pukulan lagi mendarat tepat di pelipis pria tadi. Pria yang dipukul tampak tak senang dengan perlakuan si wanita, hanya saja disana dia sama sekali tak punya celah tuk membalas serangan. Pria yang lain yang sepertinya rekan yang juga bosnya menarik si wanita keluar ruangan.
            “Kamu gila yah Za..?? Lo.. lo… tahu istilah control yourself gak sih..??, Kiki mulai menceramahi.
            “Gue kesel aja liat tuh tua Bangka mesum **jiiing.” Jawab wanita bernama Za itu keras kepala.
            “Lo liat gue, lupa ya tujuan kita kesini? Bahan berita, gali informasi Zakiyah, bukan gali batang hidung orang. Lo kaya amatiran ya lama – lama.” Ceramahnya mengandung emosi sekarang.
            Yang diceramahi diam tak menimpali walau dia ingin sekali mengatakan kalau pukulan itu bukan apa – apa untuk lelaki bangsat seperti pria tadi dan merasa perlu  dengan tangannya sendiri mengambil bagian. Si bos berusaha meredam emosinya sendiri. Dia tampak masuk ke ruangan lagi dan berbincang – bincang singkat dengan pria – pria tegap di dalam untuk kemudian keluar lagi.
            “Kita balik.” Katanya singkat.
            Zakiyah bergegas  meraih tas punggungnya dan memasukkan recorder dan barangnya yang lain kedalamnya. Sebelum keluar gedung, dia sempat berpamitan dengan orang – orang di dalam, kecuali pria dengan batang hidung patah tadi. Dia tergopoh mengikuti langkah Kiki yang panjang – panjang. Telinganya sudah ditebalkan lima sentimeter, antisipasi ceramah lanjutan yang dilancarkan si bos setelah sampai di kantor lagi. Itu sudah lagu wajib ketika dia melakukan kesalahan, dan mantapnya dia telah menghapal seluruh nadanya.  
            Vespa yang dimodifikasi hingga bisa ketahuan sang pemilik penggila Juventus fc itu melaju mulus dijalanan. Hari hampir malam. Jantung jalanan makin berdetak kencang. Udara riang. Panggung jalanan pun semakin marak. Di jalanan itu, Zakiyah bisa melihat ada tukang somai, tukang jagung, tukang soto, dan tukang – tukang lain yang biasa dinas malam mulai menjajakan  masakan terbaik demi kepuasan lidah – lidah pelanggannya. Areal yang mereka lalui kini berada di tepat di bibir pantai ber-view pulau – pulau kecil yang berderet. Nilai plus untuk mereka yang mencari tempat relaksasi ekonomis ketika hari begitu keras pada hidup mereka.
            Vespa Juve ini perlahan menepi di sisi badan jalan.
            “Kita nyantai disini sebentar, baru lanjut ke kantor.” Kata si bos tanpa meminta persetujuan yang diajak. Yang diajak agak lega. Dipikirnya si bos takkan melantunkan ceramahnya yang panjang kali lebar sama  dengan luas di tempat ini.
            Kondisi tempat ini strategis, tak ayal membuat tempat ini jadi incaran yang muda hingga yang tua bertengger. Si bos membeli beberapa buah jagung rebus, sekantong kacang yang juga rebusan serta dua botol coca – cola. Mereka duduk di talud yang less light, berdua. Sambil meneguk minuman itu, si bos merogoh sesuatu dari day pack hitam miliknya. Sebuah kamera Nikon D900 dan tripod. Sejurus kemudian dia mulai sibuk dengan jeprat – jepret. Masih cuek.
            Angin menyinggit dedaunan, Zakiyah membiarkan angin itu meliuk – liuk mempermainkan jilbabnya. Debur ombak dan malam rebah mencipta harmoni indah. Dia menikmatinya. Sangat.
            Tombol shutter release dipencet dan KLIKKK….
            Lampu flash menyilaukan mata Zakiyah. Tak sadar dia dijadikan objek candid. Kiki melihat hasil jepretannya sedikit monyong. Yang dijepret merasa agak tak nyaman tapi matanya kembali menyetubuhi kitab alam yang membentang jelaga diatas sana.
            “Suka bintang?” Tanya Kiki sambil ikutan melihat ke konstelasi kompleks milik Sang Tuan itu. Kiki mencoba mereda ketegangan yang sedari tadi memang dia ciptakan.
            “Ki, jangan marah lagi yah. Gue minta maaf, Ki. Gue gak akan ngulang lagi. PROMISE.” Rengek Zakiyah keluar topik.
            “Hmm… Gue harap lo gak ulangi lagi kejadian kaya tadi. Kalo ada tuntutan, bukan cuma lo yang kena getah. Gue tahu perasaan lo tapi kita professional. U got it ? Bentar malam deadline.” Jawab si bos,
            “Thank You yaaahhh…..” Jawab Za singkat.
            “Lo belom jawab pertanyaan gue. Suka bintang?”
            “Lumayan, terutama yang itu.. rasi bintang Orion. Sang Pemburu.” Kiki mengikuti arah telunjuk Zakiyah.
            “Alasannya?” Kiki penasaran.
            “Mitosnya panjang. Tapi gue suka perjuangan Orion untuk mendapatkan cintanya, Merope.. yahhh walau berakhir sad ending. Gue pengen punya cowok kaya dia.”
            Kiki tertegun saja demi mendengar Zakiyah berceloteh.
            “Yang itu Alnitak.. yang itu Alnilam… dan itu Mintaka. Sabuk Orion.” Lanjut Zakiyah sambil menunjuk kearah tiga bintang sejajar yang lumayan terang. Kiki keheranan wanita disampingnya itu bisa menghapal dengan benar nama – nama bintang itu. Dia agak menyesal memancing wanita ini berbicara tentang bintang, tapi terbayar dengan wajah binar yang merona itu.
            “Kalo itu Betelgeuse, dan ituu….. Rigel. Hmmmmm… bagus yaahh.. yang paling excited itu orionid meteor shower. Hujan meteor itu biasanya di bulan Oktober. Per jamnya bisa terlihat sampai 30-an meteor loooh.”
            “Waahh.. keren tuuhhh.” Tanggap Kiki dan Zakiyah sepertinya bangga berhasil membuat bosnya takjub. Zakiyah meneguk satu tegukan coca cola dan kemudian melanjutkan.
            “Gue punya mimpiiiii…. Suatu saat nanti gue bakalan berburu tuh Orionid Meteor Shower dengan Orion gue. Dan tempat yang gue pilih yaitu Puncak Dewi Anjani, Rinjani.”
            Orion lo?” Tanya Kiki gak nyambung.
            “Iyah.. orang yang gue sayang, yang bakalan nerima gue apa adanya, walau dia dah tahu kebenaran tentang gue dan tetap memperjuangkan cinta kita. Just like the Orion”. Jelas Zakiyah memandang penuh makna rasi bintangnya itu. Sekali lagi dia biarkan angin malam itu menyetubuhi tiap lekukan wajahnya. Sungguh dia tak tahu menahu bahwa lelaki di sampingnya itu betapa mengaguminya dalam diam. Berharap menjadi Orion yang menemaninya di puncak Rinjani.
            Ich habe dich nie je so geliebt, ma sœr
Als wie ich fortging von dir in jenem Abendrot”. Kiki mengucapkan seakan – akan untuk dirinya sendiri, namun dia yang tahu benar bahwa syair Bertolt Brecht itu ditujukan pada Zakiyah.
Sementara Zakiyah pernah mendengar syair itu, tapi dia sungguh tak memahami dan Kiki menolak memberitahunya.
“Nanti juga lo tahu artinya, Za.”

*****************************

            BOCAH TUJUH TAHUN DIPERKOSA DAN
DIBUNUH PAMAN KANDUNGNYA SENDIRI.
Sebuah headline yang membuat hati siapapun miris membacanya, terpampang dengan font besar – besar dan tebal di MALUT POS pagi ini. Reihan mendapati Zakiyah Zaidawi, nama adiknya sebagai reporter berita tragis itu.
“Zaaa……….. ini berita benar yah?” Dia sedikit berteriak pada adiknya.
“Perlu ditanya yah bang? Apa gue perlu ngambil recorder ama dokumentasi wawancara nya?” Jawab yang ditanya sambil memposisikan diri di samping abangnya. Dia tarik perlahan nescafe cappuccino panas dengan bibirnya yang manis, agak sewot diragukan kapabilitasnya.
“Ihh ketus amaat, cuma nanya juga. Gak percaya aja kalo di daerah sini sudah ada yang berani berbuat seperti ini. Sudah seperti di kota – kota besar aja kriminalitasnya. Astagfirullah.” Reihan ikutan menyeruput kopi hitamnya.
“Gue udah kerja di media ini 5 tahun. Dan berita ini…………………”
Dia menghela nafas sejenak dan Reihan menanti kata – kata selanjutnya.
“Gue harap dia mendapatkan hukuman yang setimpal selain tonjokan gue.” Katanya datar. Ada sesuatu yang dalam ketika dia mengucapkan hukuman yang setimpal.
“Kamu sempat nonjok?” Tanya abangnya excited.
“Gue tonjok pas wawancara di kantor polisi. Batang hidungnya patah dan pelipisnya sobek.” Jelasnya singkat sambil menunjuk hidung dan pelipisnya. Dia kemudian berlalu meninggalkan abangnya yang diam – diam bangga dengan sikap adik semata wayangnya itu. Sepeninggal Abahnya, keduanya tinggal bersama Ummi. Ummi menikah diusia 18 tahun dan ketika ditinggal Abah, Ummi pun masih tergolong muda dan cantik. Ummi bisa saja menikah lagi dengan beberapa pria yang mendekatinya hanya saja beliau telah memegang prinsip untuk tidak menikah lagi.
“Ummi mencintaimu Abimu sampai Insya Allah kita akan dipertemukan lagi.”
Begitu kata Ummi ketika Reihan dan Zakiyah mengutarakan kesediaan mereka menerima Abi baru mendampingi Ummi. Dan Reihan begitu yakin jika gen Ummi sangat dominan pada Zakiyah hingga begitu keras kepala dan berpendirian teguh.
Tak berselang lama, Za bergegas ke kantor dengan setelan wajibnya. Jeans, T-Shirt berbalut kemeja dan sepatu kets serta jilbab merah maroon yang tak ketinggalan menghiasi kepalanya. Reihan begitu menyayangi adiknya itu. Za memiliki kulit langsat Ummi-nya dan wajahnya dicipta seperti keluarga Abi yang Arabian. She’s almost perfect as a woman. Satu hal yang sampai sekarang buat Reihan bingung. Adiknya itu belum pernah terlihat sama sekali menggandeng seorang teman pria spesial walau umurnya sudah siap untuk menikah. Jika alasannya tak laku, itu tak mungkin. Teman- teman prianya yang datang ke rumah saja, tak seorangpun yang melewatkan episode tebar pesona pada adiknya itu, kecuali jika mereka yang Guy.
Apakah adikku yang lesbi?



                           *******bersambung.