Selasa, 29 Maret 2016

Kabut sapu muka, tinggalkan bulir bening di pelupuk mata. Aku selalu mengagumi suasana setelah hujan. Diam. Damai. Kopi yang semakin dingin di genggaman, ku hirup perlahan. Masih segar diingatan pertama kali ku tapakkan kaki di puncak ini, ku maki semua yang menyakiti, kumaki semua yang tak bersedia memiliih, bahkan berani ku tengadah langit tuk memaki Sang Tuan atas “ketidak adilannya”. Kulepas semua beban yang kukira mampu menghilang bersama kabut. Semakin kutemui dan kuleburkan makian juga keluh bersama kabut, semakin kusadari makian – makian itu menghilang perlahan.

Pendakian – pendakian ini mengajarkanku begitu banyak hal. Peluh yang menetes basahi pelipis akan diganti Sang Tuan dengan indah.  Kusadari bahwa “ketidakadilan” yang pernah kuteriakkan ke langit mungkin hanyalah masalah perspektif. Sebenarnya akulah yang tidak adil mengadili Sang Tuan. Ku estimasi lukaku, perihku, sakit di hatiku dan kemudian ku tarik lurus cinta Sang Tuan padaku. Sungguh Sang Tuan pemilik puncak – puncak mahadaya ini cintaNya begitu keterlaluan. Sungguh. Dan untuk harum kabut puncak yang kuhirup, untuk lautan awan dan ilalang yang menghampar, untuk lelaki tua yang telah beristirahat dengan tenang di langitMu dan untuk lelaki yang selalu menggenggam hatiku erat ke hatinya. Aku berterima kasih untuk kesemua itu, Tuan. Terima kasih.


Gamalama
                                                              2015

Senin, 08 Juni 2015

Belum Ada Judul



Seruput kopi pertama
Secarik kertas, sebatang pena dan genangan hujan
Kutulis ini sebagai lambang kasih
Tuk hitam – hitam manisku
Yang penuh cinta merayap ke penaklukkan mimpi
Tengoklah tunas - tunas baru dari pohon mati belakang kelas itu
Hijau dan bersemangat
Semakin dipermainkan rinai hujan makin lincah dia
Tak patah makin tumbuh subur
Selaiyaknya kalian manis – manisku
Tumbuhlah bersemangat dan subur
Hingga jelma pohon besar yang tangguh
Persetan dengan nilai di raport
Tapi jangan persetan dengan ilmu dan akhlakmu
Ada ilmu ada akhlak datanglah nilai, manis – manisku

Seruput kopi kedua
Secarik kertas, sebatang pena dan genangan hujan
Kutulis ini sebagai lambang kasih
Tuk hitam – hitam manisku
Yang penuh cinta merayap ke penaklukkan mimpi
Dengarlah.
Sekolah kadang tak tersenyum bersama kita
Guru sepertiku tak selalu selaiayak Saraswati yang tahu segala
Ataupun Athena yang bijak dan penyayang
Buka mata buka hati
Belajarlah dari segala
Rontokkan belenggu yang ikat kepala
Cipta sayap – sayap asa yang kokoh
Terbanglah yang tinggi, manis – manisku.
Walau sesekali harus atur nafas agar tak tumbang.

Seruput kopi ketiga
Secarik kertas, sebatang pena dan genangan hujan
Kutulis ini sebagai lambang kasih
Tuk hitam – hitam manisku
Yang penuh cinta merayap ke penaklukkan mimpi
Ini kuberi kertas, ini kuberi pena penuh tinta
Entahlah, hanya itu yang boleh kuberi.
Semoga tak kumal dan kelabu di dalam tas lusuh
Manis – manisku...
Maaf dari hati jika kadang menyakiti
Kucinta kalian dengan hatiku.
Tak perlulah balas cintaku
Cukuplah cintai diri kalian sendiri
Kuanggap kalian begitu mencintaiku.


 Bukit Parangsana, 09  - Juni - 2015