Ngek… ngek… ngek… bunyi jendela kamar tertiup angin sepoi.
Kusennya yang sudah tua membuatnya harus melantunkan nada yang sama beberapa
tahun terakhir. Kubiarkan saja bunyi jendela itu bermelodi dengan bunyi mesin
jahit nenek tiri yang seangkatan kusen jendela tadi. Aku begitu tenggelam
sejenak membiarkan harmony itu masuk jauh kedalam menyentuh hatinya.
Tua... Karatan... Mati… Kubur... Entah apalagi... Semuanya bergantian masuk dan keluar otak mungilku. Aku baru
berumur 11 tahun tapi entah kenapa imagiku lari kiri kanan naik jauh diatas
parameter imajinasi bocah seumuranku, mungkin karena lingkungan tempatku
tinggal di penuhi orang dewasa. Namaku Indra Lesmana. Entah dengan pertimbangan
apa orang tuaku menamaiku sama dengan aktor dan pemusik terkenal itu. Mungkin
saja – mungkin- mereka menaruh harapan besar pada pundakku yang cungkring ini agar
kelak menjadi seorang artis. Dan seiring bertumbuhnya tulang belulangku, jelas
tak nampak barang sedikitpun bakat yang kumiliki yang sejurus dengan ekting – ektingan apalagi musik. Kasih
gitar padaku, dan saat itu pula akan kuputus senarnya.
Ingin
benar aku tanyakan pada orang tuaku perihal penasbihan nama cantik itu, namun
ayahku entah dimana dan ibuku sama tak jelasnya. Pernah nenek berucap bahwa
ibuku tinggal di pusat kota Jakarta sana. Namun, tak pernah sekalipun dia
menelepon apalagi menjengukku. Aku menerka - nerka ayahku pasti kurus sepertiku
dan rambut keriting ini warisan dari ibuku.
Kubuang
pandang ke nenek tiriku yang sedari tadi menjahit tak jelas apa yang hendak
dijahit.
Lagi galau. Aku membatin.
Beberapa menit sebelumnya….
Tok..
took.. took… Terdengar seseorang mengetuk pintu dengan kasar. Pertamanya nenek
tak mengindahkan ketukan itu dan tetap pada ketiak baju sobek yang sedang
dijahitnya. Tapi bunyi itu berlanjut dan tampak menganggu. Nenek membuka pintu
dan disana berdiri dua orang yang sepertinya polisi.
“Selamat
siang, bu. Kami dari kepolisian”. MEMANG POLISI.
“Iyah,
ada yang bisa saya bantu?”. Suara tuanya bertanya agak ragu.
“Apa
benar disini rumah bpk. Anton?”. Sekarang mereka menanyakan suami si nenek.
Kakek kandungku.
“Iyah,
benar. Saya istrinya. Kenapa anda – anda ini menanyakan suami saya ya?” Tanya
nenek lagi.
“Begini
ibu, suami anda tertuduh melakukan pembunuhan terhadap temannya. Dia tidak
terima kalah judi dan menggorok leher temannya itu.” Terang sang polisi tegas
dan lugas.
Nenek
berusaha memberi tenaga lebih untuk lututnya yang memang sudah tak bertenaga
itu. Namun sialnya, kunciannya belum sempurna dan baut lututnya terlanjur
longgar. Brrruuuukkkkkkkkkkk… nenek
pingsan. Aku linglung.
****************************
Mie bengkak, ikan asin, dan nasi sepiring tergeletak
diatas meja makan ini. Berdua dengan nenek kami makan dengan penuh hikmat, mungkin
karena sedang merasa gundah. Selama makan, nenek terdiam dan aku pun ikut –
ikutan diam. Aku tak bernafsu sedikitpun
untuk memamah makanan tak bergizi ini, hanya saja daripada duduk melongo disini.
“Khhmmm… khmmmm..” Batuk nenek mengisi ruang kosong
antara kita. Aku mengangkat bola mataku sambil masih mengunyah nasi tak enak.
“Ndra,.. sepertinya kamu tahun ini tidak bisa mengikuti
ujian. Kita tak punya uang sama sekali.” Suara beratnya menghujam sampai ke
titik terdalam hatiku.
“Kakekmu dipenjara dan nenek tak punya uang untuk bayar
uang sekolahmu, nak. Nenek harap kamu bisa mengerti.” Terang nenek lurus.
Mie yang
bengkak yang malas kusentuh tadi, kuembat hingga gigitan akhir. Kurasakan sakit
disini tiba – tiba, dari balik dada kurus ini. Tak kusangka, tetesan bening
asin keluar dari mataku namun cepat kutepis. Aku tak mampu berkata – kata lagi.
Ingin kumenangis sekeras – kerasnya tapi aku tahu benar tangisan itu akan
tenggelam diantara perumahan padat ini dan… selesai. Kupandangi wajah nenek
lekat dan berharap dia bisa berubah layaknya peri yang meniupkan kekuatan magis
masuk kedalam jiwaku. Aku berharap dia bisa berkata padaku bahwa ada jalan lain
hingga aku tak putus sekolah sedini ini. Namun yang diharapkan berbanding
terbalik, nenek masih terdiam dua ribu bahasa. Tak ada peri dengan kekuatan
magisnya, tak ada rapalan – rapalan mantra sakti mandraguna juga tak ada rayuan
apalagi pembesaran harapan. Aku luruh. Aku sakit didalam sini, tapi harus
kepada siapa mengadu. Nenek kutinggalkan sendiri dalam kediamannya didepan meja
makan itu.
Tangis
ini rasa – rasanya tak dapat kutahan lagi, Aku tenggelamkan wajahku pada bantal
dan kubungkam mulutku keras, kumenangis sejadi – jadinya malam ini. Kata – kata
guruku makin terngiang jelas di tifa telinga tentang batas pembayaran uang
ujianku yang tinggal beberapa hari lagi. Aku benar – benar tak ingin putus
sekolah dan berakhir di jalanan.
Ma.. pa… dimana kalian..?? aku butuh kalian. Tidakkah kalian
merindukanku atau sekedar mengingatku? Ma.. pa.. Ratapan singkat itu kuulang – ulang hingga hampir tertidur
sedang jam di dinding baru menunjukkan pukul 07.40 malam. Beberapa saat
kemudian, kukuatkan diriku sendiri. Aku bangkit, kemudian..
“Aku,
Indra Lesmana, aku rapalkan mantra magis dari Tuhan untuk diriku sendiri. Aku tak
ingin dan tak akan menyerah untuk sekolah. TIDAK AKAN PERNAH.” Kataku lantang
menengadah langit – langit kamar yang
tua. Kupaksa otak mungilku berputar – putar bagaimana caranya untuk mendapatkan
beberapa lembar uang seratusan ribu itu dalam beberapa hari.
Ngamen.
Ngemis. Ngibul. Nyopet. Ngepet. Semuanya masuk dan keluar kepalaku. Jika ngamen
dan ngemis, butuh berminggu – minggu bahkan berbulan – bulan. Ngibul dan
nyopet, aku tidak berani. Kalau ketahuan, massa bisa meremuk badan kecil
cungkringku hingga sisa abu. Sedang ngepet, aku tidak ingin kastaku turun
menjadi hewan hidung pesek itu.
Arrrrghhhhhhhhhhhhh…………….
Aku menggerutu dalam hati. Semangat yang tadi telah berkobar kini perlahan
hampir meredup lagi demi tak kudapatkan titik terang. Kembali kubanting diriku
ke tempat tidur lapuk itu, kutengadah kitab hitam luas diatas sana saksi
kehidupan yang telah tua.
Tuhaaannnnn… aku ingin sekolah Tuhaan. Jika aku dilahirkan
untuk kau buat terlantar dari mereka yang melahirkanku, maka aku hanya ingin
lebih baik dari mereka. Tuhaaaan. Kukirimkan
pesanku padaNya lewat pesta gemintang malam ini dan berharap Dia dengan
SegalaNya bisa mendengarku.
************************
07.00 pagi.
Angin dingin menerpa wajahku. Kurasakan gelak ngantuk masih
menertawakanku yang kumul. Kubuka perlahan mataku. Orang – orang sudah mulai
ramai. Aku bingung, tapi tak membutuhkan waktu lama untuk menyadari aku sudah
berada di stasiun Tambun pagi ini. Nadi stasiun sudah mulai berdetak seiring
jahatnya hidup mencekik aku dan mereka yang tak ber-uang. Ada yang menjajakan
rokok, yang lain menjajakan kopi, dan selebihnya ibu – ibu yang menjajakan nasi
bungkus ataupun jagung rebus. Kulihat kakiku dan merasakan perih disana. Baru
kuingat, aku berjalan semalaman menyusuri rel kereta dari rumah kecil kakekku
di Rawa Pisang sana hingga tak sadar telah sampai di stasiun ini. Perjalanan
yang lumayan jauh untuk kaki kecil anak SD kelas 6 sepertiku. Aku berjalan dari
jam 08.00 malam hingga jam 03.00 pagi sebelum akhirnya tertidur tanpa selimut
ataupun koran yang mengalasi di bangku panjang stasiun. Perjalanan nekat dengan
satu misi pasti di server otakku. AKU HARUS TETAP SEKOLAH. Mungkin aku
terlanjur bodoh ataupun masih naïf karena tak terlintas di otakku barang
sedikit tentang para preman yang memalak, atau psikopat gila yang bisa saja
mensodomi dan mencincang tubuhku jadi beberapa bagian dan kemudian
menghanyutkanku di gorong – gorong.
Kubilas
wajahku yang kotor seadanya dengan aqua sisa
yang bertengger di bangku stasiun. Baju kaos dalam yang sedang kukenakkan
kugunakan sebagai kaos multi fungsi untuk mengelap wajahku. Aku tak kantuk lagi
tapi harus ku putar otakku untuk bagaimana caranya bisa naik ke kereta sedang aku tak punya uang
sepeserpun. Kupandangi loket tiket yang disana sudah ada barisan panjang manusia.
Tidak sepertiku, mereka mungkin hanya ingin pergi berlibur.
Bau keringat, bau kaos kaki busuk, bau parfum murahan,
bau pesing dan bau – bau lain semuanya bercampur jadi satu dalam kereta ekonomi
menuju stasiun Manggarai ini. Aku begitu kumul, hanya berbalut baju kaos dalam,
celana pendek dan tanpa alas kaki. Setelah berjuang berhimpit diantara para
penumpang untuk naik kereta dan kini aku duduk terjepit diantara badan – badan
besar ini. Kereta melaju cepat, meninggalkan stasiun Tambun yang ramai di pagi
ini. Aku telah putuskan sesuatu yang besar dalam hidupku. Sesuatu yang
kupertaruhkan demi ijazah SD ku. Aku
tidak ingin putus sekolah. Suara itu berulang – ulang menggerogoti hatiku
bagai virus yang cepat merambat ke psikomotorikku hingga membuat kakiku
melangkah sejauh ini. Aku akan mencari ibuku ke pusat kota sana.
“Thamrin Residence Apartment, Jakarta Selatan”. Kuingat
kembali sebuah alamat yang pernah diucap nenek. Disitulah ibuku tinggal
sekarang. Bagi orang lain, mungkin itu hanya merupakan sepenggal alamat, tapi
tidak bagiku. Sepenggal ingatan tentang alamat yang bahkan tak kutahui artinya
itu merupakan tiket penentu masa depanku. Nantinya di ujung pencarianku, tiket
ini akan berlaku atau hanya sepenggal ingatan yang perlahan harus kuhilangkan.
Sekali lagi urusan di batas jalan itu kuserahkan pada wanita itu dan Tuhan yang
sedang mengawasiku dari antah berantah.
Ma… Kali ini aku tak datang untuk mengemis kasih darimu, aku juga
tak akan berlutut agar kau hidup bersamaku, namun aku datang untuk mengambil
sedikit –sedikit saja- milikku darimu sebagai tanggung jawab aku di-ada-kan
didunia. Jika saja proses aklamasi untuk hidupku, aku hadir juga. Aku lebih
memilih untuk tak dilahirkan. Batinku
menggelegar tangguh dan egois. Perumahan berjubel di luar sana terlihat membentuk
lukisan abstrak panning yang indah bagian dari tua nya dunia. Yeah indah,
mungkin itulah yang harus kuindahkan dibandingkan tak ada yang dapat kuindahkan
dari bumi biru tua ini.
******bersambung