Aroma kopi pahit menyeruak masuk ke
hidung kemudian diteruskan ke jantung hingga degupnya tak stabil. Ekstase.
Kuseruput satu tegukan. Cairan jelaga ini tak pernah berhenti tuk kukagumi
caranya menyalurkan kedamaian ke tiap detakan nadiku, walau mungkin itu lebih
merupakan sugesti diri. Udara masih begitu dingin. Mentari tak mampu menerobos
awan mendung yang menggerayapi langit. Hujan yang baru saja berhenti menyisakan
lembab pada daun – daun dan tanah hitam disekitarku. Aku suka aroma tanah
basah, juga harumnya kulit pepohonan yang menjulang. Jika kebanyakan orang
lebih memilih cuaca cerah untuk menyetubuhi puncak, maka aku akan lebih jatuh
cinta pada gunung ketika hujan turun.
Tegukan kedua. Kubuang pikir pada
ayah-ku di bawah sana. Apakah dia sedang mengkhawatirkanku? Tidakkah dia
menghubungiku? Tentu saja tanya yang kedua tak dapat kujawab sendiri karena
sedang ku-non aktifkan handphone-ku.
Kuingat lagi kemaren pagi pertengkaran luar biasa terjadi antara ayah dan aku
hingga berujung pada pengakuan semesta bahwa aku anak haram ibu. Pada
kenyataannya tak usah diucap pun, aku cukup tahu dari induk mana dan seperti
apa aku diretas. Aku pun telah bersepakat dengan hati bahwa kenyataan itu
adalah kelas khusus yang digelar Sang Tuan tuk mendewasakan diri ini. Tapi
sungguh mati, aku benar – benar tak ingin hal itu yang keluar dari mulut ayah
sendiri. Dan ketika hal itu telah dilakukan, aku hanya bisa kabur keluar rumah.
Carrier yang memang telah siaga 3 di
salah satu sudut kamar kusambar dan mulai mendaki sendirian melewati jalur desa
Moya tanpa ijin. Aku akan seperti orang gila dan tak peduli apapun jika sedang
bermasalah dengan ayahku, bahkan yang paling berbahaya sekalipun. Kususuri sore
jelang magrib ditemani cahaya senter plus headlamp.
Lahan – lahan luas pepohonan cengkeh milik warga kulalui, perlahan namun pasti POS
– POS kulewati, barangka satu, dua
kemudian tiga berhasil kulewati. Aku terus berjalan di melewati track yang
telah kuhapal betul ini dan tibalah aku di sekitar bahu gunung Gamalama,
tepatnya tempat yang oleh pendaki disebut terminal. Disebut terminal karena
disinilah dua jalur pendakian yaitu jalur dari desa Moya dan desa Marikurubu,
keduanya bertemu sebelum mencapai puncak. Kugelar doom ku disudut kiri terminal. Beralas matras dan berbungkus SB aku
menikmati malam dari sini. Langit diatas terbentang cerah penuh gemintang.
Bulan terlihat lebih besar dan mengagumkan. Rasa sedihku kini tak kurasa lagi.
Aku berlagak sok tahu dengan menerka
bahwa malam tadi sudah masuk pada salah satu malam dari malam Pat Ngiat Chun Chiu. Begitu kata teman China ku. Malam di bulan ke delapan
Imlek yang dipercaya sebagai bulan Dewa Dewi. Pada malam – malam seperti ini
pintu khayangan dibuka dan para dewa turun ke bumi untuk melawat umat manusia.
Aku pikir juga, karena posisiku lebih dekat ke langit mungkin para dewa itu
takkan melewatkanku jadi aku sengaja tak tidur hingga pagi. (:D)
Kulihat arloji di tangan, pukul 09.00
pagi. Aku tak ingin mendaki lagi, aku pun belum ingin turun gunung. Aku benar –
benar tak ingin beranjak dari tempatku saat ini. Supply air, makanan dan kopi
ku bahkan masih cukup jika patok doom ku
masih tertancap satu hari lagi di tempat ini. Kuikat hammock di pohon dan kunyamankan tubuhku tak jauh dari doom. Kuraih
sebuah novel dari balik bilik kecil carrier
diantara persediaan pembalutku. Sebuah
novel terjemahan karangan sastrawan Mesir Ali Alghareem. Novel dengan judul “Pembawa Kabar dari
Andalusia” ini sedikit banyak membuatku impressed.
Ibnu Zaidun tokoh utamanya yang membawa mimpi besar untuk kegemilangan Islam di
bumi Andalusia atau sekarang kita lebih mengenalnya dengan sebutan Spanyol.
Pusat warasku tak berporos pada si Ibnu Zaidun ini, namun pada seorang wanita
cerdas dan tanggu. Naila Al Dimasykia. Seorang wanita keras kepala yang
dijuluki mutiara Cordova, dimana setiap kata yang mengalir dari bibirnya yang
indah membuat orang akan betah mendengarkan. Bahkan ketika Ibnu Zaidun terpikat
muslihat Aisyah binti Galib yang wajahnya refleksi eksotisme Arab dan Spanyol.
Namun, Naila Al Dimasykia jua lah yang menyelamatkannya.
Sosok seperti Naila ini sedikit banyak
memotivasi diriku untuk menjalani hidup dengan kuat. Toh, ketika dalam rapuh aku dan Naila Al
Dimasykia sama – sama punya cara sendiri untuk melewatinya. Dan inilah aku,
beginilah aku.
Kuseruput kopi ku yang telah dingin.
Mataku masih menafakuri kata demi kata yang digulir penulis itu hingga tak
terasa mentari telah tegak lurus dengan kepalaku. Sinarnya tak sampai menembus
pepohonan yang meneduhiku, aku masih nyaman dengan posisiku. Kutenggelamkan
wajahku dibalik novel. Tidur.
Suara berisik beberapa pria
membangunkanku dari tidur. Perutku bernada lagu lapar. Kulirik jam di tangan yang
menunjukkan pukul 5 sore. Pantas saja. Kuubah posisiku yang tadinya tidur
menjadi duduk. Tampak tiga pria sedang asik ngopi di dekat doom ku. Ketiganya sepertinya terperangah melihatku. Mungkin inilah
kali pertama melihat seorang gadis gila di tengah hutan sendirian. Benar saja.
“Kamu sendirian?” Tanya yang
berjenggot.
“Iyah bang.” Jawabku singkat sambil
menghampiri dan menyalami mereka satu persatu.
“Dari mapala mana?” Tanya yang botak.
“Hehehe… aku bukan anak PA. kebetulan saja
suka naek gunung.” Jelasku menahan lapar.
“Oooh,… cukup berani, kamu sendirian
kesini.” Dia mungkin sedang memuji. Tangannya cekatan mengangkat teko kecil
diatas kompor gas portable di depannya. Air itu kemudian dituangkan dalam gelas
yang telah diisi 2 sdt kopi, 1 sdt gula pasir, dan seujung sendok gula merah
halus juga tak lupa pula beberapa biji cengkeh. Wangi kopi bercampur cengkeh
menyeruak. Disodorkannya gelas itu padaku.
“This is it.. Kopi cengkeh ala chef
Kidan,” presentase dengan senyum lebar memamerkan gigi putihnya sudah sama
persis chef di tipi.
“Thank’s yo.” Ingin benar aku
menolaknya karena seharian ini hanya kopi yang masuk di kerongkonganku. Namun,
aku penasaran dengan rasa kopi buatannya. Ketiga orang itu baru aku tahu
kemudian bernama bang Kidan, bang Koko dan bang Dicky. Kuseruput kopi itu.
Lagi. Rasanya agak aneh, tapi khas. Aku suka. Kupuji kopi buatan bang Kidan.
Dia berdiri dan berlompat – lompat layaknya anak kecil yang karyanya dipuji.
Gila. Inilah yang aku sukai dari persaudaraan orang – orang yang menamai diri
mereka PA. Rasa kekeluargaan yang terikat erat walau belum pernah terikat
ataupun bertemu sebelumnya.
“Setelah ngopi mungkin kita akan
langsung tembak puncak. Kamu ikut dengan kita aja, pasti asik. Rencananya lusa
pagi baru kita balik” Sahut bang Koko.
“Aku mungkin tak akan lanjut ke puncak
bang, mo langsung turun.” Kugoyang gelas
kopiku hingga tercipta riak – riak kecil.
“Aaah payah nehh.” Protes ketiganya.
Aku hanya tertawa kecil. Kita tertawa lepas bebas dipelukan alam dibalik canda
mesra persaudaraan. Sebelum mereka melanjutkan perjalanan, kita saling bertukar
nomor hape dan mengusung rencana tuk ngumpul lagi ketika dah turun ke
peradaban. Kusalami ketiganya. Ketiganya menjitak kepalaku.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan
dan aku berencana turun. kubuka resleting doom
dan mencari hape yang kubuang sekenanya. Ku-aktif-kan. 20 pesan masuk. Tak
sempat membuka pesan sederet yang dikirim.
TOMI
– TOMI calling….
Pacarku.
Kujawab telfonnya dan seribu satu
ocehan dilancarkan padaku. Lelakiku. Dia begitu khawatir akanku. Kuyakinkan dia
bahwa aku baik – baik saja dan tak perlu menyusul karena aku akan segera turun
gunung. Dia kemudian berkata setengah memohon :
“Manisku, keluarga adalah segalamu,
ayahmu adalah segalamu. Pulanglah manisku. Puncak tertinggi ada pada hatimu,
taklukkan itu sayang.”
Belum selesai dia menelepon dan di
layar hape tertulis:
PAPA
waiting….
Kujawab telfonnya. Dia menangis tersedu
– sedu memohon kepulanganku. Aku katakan padanya aku dalam perjalanan pulang.