Kraaakkkkkk……….
Bunyi tulang patah terdengar jelas diluar ruangan 3 x 3m
itu. Ruang itu begitu pengap hingga bau darah segar sontak merebak bercampur
bau karat kusen jendela. Beberapa pria bergerak sigap masuk ke dalam ruang itu mencegah
pendaratan pukulan selanjutnya pada wajah pria setengah baya yang sedang duduk.
Pria itu mengelap hidungnya dengan punggung tangan. Wanita yang menonjok tadi
sepertinya belum puas melancarkan serangan, kali ini satu pukulan lagi mendarat
tepat di pelipis pria tadi. Pria yang dipukul tampak tak senang dengan
perlakuan si wanita, hanya saja disana dia sama sekali tak punya celah tuk
membalas serangan. Pria yang lain yang sepertinya rekan yang juga bosnya
menarik si wanita keluar ruangan.
“Kamu gila yah Za..?? Lo.. lo… tahu istilah control
yourself gak sih..??, Kiki mulai menceramahi.
“Gue kesel aja liat tuh tua Bangka mesum **jiiing.” Jawab
wanita bernama Za itu keras kepala.
“Lo liat gue, lupa ya tujuan kita kesini? Bahan berita, gali
informasi Zakiyah, bukan gali batang hidung orang. Lo kaya amatiran ya lama –
lama.” Ceramahnya mengandung emosi sekarang.
Yang diceramahi diam tak menimpali walau dia ingin sekali
mengatakan kalau pukulan itu bukan apa – apa untuk lelaki bangsat seperti pria
tadi dan merasa perlu dengan tangannya sendiri
mengambil bagian. Si bos berusaha meredam emosinya sendiri. Dia tampak masuk ke
ruangan lagi dan berbincang – bincang singkat dengan pria – pria tegap di dalam
untuk kemudian keluar lagi.
“Kita balik.” Katanya singkat.
Zakiyah bergegas
meraih tas punggungnya dan memasukkan recorder dan barangnya yang lain kedalamnya. Sebelum keluar gedung,
dia sempat berpamitan dengan orang – orang di dalam, kecuali pria dengan batang
hidung patah tadi. Dia tergopoh mengikuti langkah Kiki yang panjang – panjang.
Telinganya sudah ditebalkan lima sentimeter, antisipasi ceramah lanjutan yang
dilancarkan si bos setelah sampai di kantor lagi. Itu sudah lagu wajib ketika
dia melakukan kesalahan, dan mantapnya dia telah menghapal seluruh nadanya.
Vespa yang dimodifikasi hingga bisa ketahuan sang pemilik
penggila Juventus fc itu melaju mulus dijalanan. Hari hampir malam. Jantung
jalanan makin berdetak kencang. Udara riang. Panggung jalanan pun semakin
marak. Di jalanan itu, Zakiyah bisa melihat ada tukang somai, tukang jagung,
tukang soto, dan tukang – tukang lain yang biasa dinas malam mulai
menjajakan masakan terbaik demi kepuasan
lidah – lidah pelanggannya. Areal yang mereka lalui kini berada di tepat di
bibir pantai ber-view pulau – pulau kecil yang berderet. Nilai plus untuk
mereka yang mencari tempat relaksasi ekonomis ketika hari begitu keras pada
hidup mereka.
Vespa Juve ini perlahan menepi di sisi badan jalan.
“Kita nyantai disini sebentar, baru lanjut ke kantor.”
Kata si bos tanpa meminta persetujuan yang diajak. Yang diajak agak lega.
Dipikirnya si bos takkan melantunkan ceramahnya yang panjang kali lebar
sama dengan luas di tempat ini.
Kondisi tempat ini strategis, tak ayal membuat tempat ini
jadi incaran yang muda hingga yang tua bertengger. Si bos membeli beberapa buah
jagung rebus, sekantong kacang yang juga rebusan serta dua botol coca – cola. Mereka
duduk di talud yang less light, berdua. Sambil meneguk minuman itu, si bos merogoh
sesuatu dari day pack hitam miliknya.
Sebuah kamera Nikon D900 dan tripod. Sejurus kemudian dia mulai sibuk dengan
jeprat – jepret. Masih cuek.
Angin menyinggit dedaunan, Zakiyah membiarkan angin itu meliuk
– liuk mempermainkan jilbabnya. Debur ombak dan malam rebah mencipta harmoni
indah. Dia menikmatinya. Sangat.
Tombol shutter
release dipencet dan KLIKKK….
Lampu flash menyilaukan mata Zakiyah. Tak sadar dia
dijadikan objek candid. Kiki melihat
hasil jepretannya sedikit monyong. Yang dijepret merasa agak tak nyaman tapi
matanya kembali menyetubuhi kitab alam yang membentang jelaga diatas sana.
“Suka bintang?” Tanya Kiki sambil ikutan melihat ke
konstelasi kompleks milik Sang Tuan itu. Kiki mencoba mereda ketegangan yang
sedari tadi memang dia ciptakan.
“Ki, jangan marah lagi yah. Gue minta maaf, Ki. Gue gak
akan ngulang lagi. PROMISE.” Rengek Zakiyah keluar topik.
“Hmm… Gue harap lo gak ulangi lagi kejadian kaya tadi.
Kalo ada tuntutan, bukan cuma lo yang kena getah. Gue tahu perasaan lo tapi
kita professional. U got it ? Bentar malam deadline.” Jawab si bos,
“Thank You yaaahhh…..” Jawab Za singkat.
“Lo belom jawab pertanyaan gue. Suka bintang?”
“Lumayan, terutama yang itu.. rasi bintang Orion. Sang
Pemburu.” Kiki mengikuti arah telunjuk Zakiyah.
“Alasannya?” Kiki penasaran.
“Mitosnya panjang. Tapi gue suka perjuangan Orion untuk
mendapatkan cintanya, Merope.. yahhh walau berakhir sad ending. Gue pengen punya cowok kaya dia.”
Kiki tertegun saja demi mendengar Zakiyah berceloteh.
“Yang itu Alnitak.. yang itu Alnilam… dan itu Mintaka. Sabuk
Orion.” Lanjut Zakiyah sambil menunjuk kearah tiga bintang sejajar yang lumayan
terang. Kiki keheranan wanita disampingnya itu bisa menghapal dengan benar nama
– nama bintang itu. Dia agak menyesal memancing wanita ini berbicara tentang
bintang, tapi terbayar dengan wajah binar yang merona itu.
“Kalo itu Betelgeuse, dan ituu….. Rigel. Hmmmmm… bagus
yaahh.. yang paling excited itu orionid meteor shower. Hujan meteor itu
biasanya di bulan Oktober. Per jamnya bisa terlihat sampai 30-an meteor loooh.”
“Waahh.. keren tuuhhh.” Tanggap Kiki dan Zakiyah
sepertinya bangga berhasil membuat bosnya takjub. Zakiyah meneguk satu tegukan coca cola dan kemudian melanjutkan.
“Gue punya mimpiiiii…. Suatu saat nanti gue bakalan
berburu tuh Orionid Meteor Shower dengan
Orion gue. Dan tempat yang gue pilih yaitu Puncak Dewi Anjani, Rinjani.”
“Orion lo?”
Tanya Kiki gak nyambung.
“Iyah.. orang yang gue sayang, yang bakalan nerima gue
apa adanya, walau dia dah tahu kebenaran tentang gue dan tetap memperjuangkan
cinta kita. Just like the Orion”.
Jelas Zakiyah memandang penuh makna rasi bintangnya itu. Sekali lagi dia
biarkan angin malam itu menyetubuhi tiap lekukan wajahnya. Sungguh dia tak tahu
menahu bahwa lelaki di sampingnya itu betapa mengaguminya dalam diam. Berharap
menjadi Orion yang menemaninya di
puncak Rinjani.
“Ich habe dich nie
je so geliebt, ma sœr
Als wie ich fortging von dir in jenem Abendrot”. Kiki mengucapkan seakan – akan untuk dirinya sendiri, namun
dia yang tahu benar bahwa syair Bertolt Brecht itu ditujukan pada Zakiyah.
Sementara
Zakiyah pernah mendengar syair itu, tapi dia sungguh tak memahami dan Kiki
menolak memberitahunya.
“Nanti
juga lo tahu artinya, Za.”
*****************************
BOCAH TUJUH TAHUN DIPERKOSA DAN
DIBUNUH
PAMAN KANDUNGNYA SENDIRI.
Sebuah
headline yang membuat hati siapapun miris membacanya, terpampang dengan font
besar – besar dan tebal di MALUT POS pagi ini. Reihan mendapati Zakiyah
Zaidawi, nama adiknya sebagai reporter berita tragis itu.
“Zaaa………..
ini berita benar yah?” Dia sedikit berteriak pada adiknya.
“Perlu
ditanya yah bang? Apa gue perlu ngambil recorder
ama dokumentasi wawancara nya?” Jawab yang ditanya sambil memposisikan diri
di samping abangnya. Dia tarik perlahan nescafe
cappuccino panas dengan bibirnya yang manis, agak sewot diragukan
kapabilitasnya.
“Ihh
ketus amaat, cuma nanya juga. Gak percaya aja kalo di daerah sini sudah ada
yang berani berbuat seperti ini. Sudah seperti di kota – kota besar aja
kriminalitasnya. Astagfirullah.” Reihan ikutan menyeruput kopi hitamnya.
“Gue
udah kerja di media ini 5 tahun. Dan berita ini…………………”
Dia
menghela nafas sejenak dan Reihan menanti kata – kata selanjutnya.
“Gue
harap dia mendapatkan hukuman yang setimpal selain tonjokan gue.” Katanya datar.
Ada sesuatu yang dalam ketika dia mengucapkan hukuman yang setimpal.
“Kamu
sempat nonjok?” Tanya abangnya excited.
“Gue
tonjok pas wawancara di kantor polisi. Batang hidungnya patah dan pelipisnya
sobek.” Jelasnya singkat sambil menunjuk hidung dan pelipisnya. Dia kemudian
berlalu meninggalkan abangnya yang diam – diam bangga dengan sikap adik semata
wayangnya itu. Sepeninggal Abahnya, keduanya tinggal bersama Ummi. Ummi menikah
diusia 18 tahun dan ketika ditinggal Abah, Ummi pun masih tergolong muda dan
cantik. Ummi bisa saja menikah lagi dengan beberapa pria yang mendekatinya
hanya saja beliau telah memegang prinsip untuk tidak menikah lagi.
“Ummi
mencintaimu Abimu sampai Insya Allah kita akan dipertemukan lagi.”
Begitu
kata Ummi ketika Reihan dan Zakiyah mengutarakan kesediaan mereka menerima Abi
baru mendampingi Ummi. Dan Reihan begitu yakin jika gen Ummi sangat dominan
pada Zakiyah hingga begitu keras kepala dan berpendirian teguh.
Tak
berselang lama, Za bergegas ke kantor dengan setelan wajibnya. Jeans, T-Shirt
berbalut kemeja dan sepatu kets serta jilbab merah maroon yang tak ketinggalan menghiasi
kepalanya. Reihan begitu menyayangi adiknya itu. Za memiliki kulit langsat
Ummi-nya dan wajahnya dicipta seperti keluarga Abi yang Arabian. She’s almost perfect
as a woman. Satu hal yang sampai sekarang buat Reihan bingung. Adiknya itu
belum pernah terlihat sama sekali menggandeng seorang teman pria spesial walau
umurnya sudah siap untuk menikah. Jika alasannya tak laku, itu tak mungkin.
Teman- teman prianya yang datang ke rumah saja, tak seorangpun yang melewatkan
episode tebar pesona pada adiknya itu, kecuali jika mereka yang Guy.
Apakah adikku yang lesbi?
*******bersambung.