Selasa, 29 Maret 2016

Kabut sapu muka, tinggalkan bulir bening di pelupuk mata. Aku selalu mengagumi suasana setelah hujan. Diam. Damai. Kopi yang semakin dingin di genggaman, ku hirup perlahan. Masih segar diingatan pertama kali ku tapakkan kaki di puncak ini, ku maki semua yang menyakiti, kumaki semua yang tak bersedia memiliih, bahkan berani ku tengadah langit tuk memaki Sang Tuan atas “ketidak adilannya”. Kulepas semua beban yang kukira mampu menghilang bersama kabut. Semakin kutemui dan kuleburkan makian juga keluh bersama kabut, semakin kusadari makian – makian itu menghilang perlahan.

Pendakian – pendakian ini mengajarkanku begitu banyak hal. Peluh yang menetes basahi pelipis akan diganti Sang Tuan dengan indah.  Kusadari bahwa “ketidakadilan” yang pernah kuteriakkan ke langit mungkin hanyalah masalah perspektif. Sebenarnya akulah yang tidak adil mengadili Sang Tuan. Ku estimasi lukaku, perihku, sakit di hatiku dan kemudian ku tarik lurus cinta Sang Tuan padaku. Sungguh Sang Tuan pemilik puncak – puncak mahadaya ini cintaNya begitu keterlaluan. Sungguh. Dan untuk harum kabut puncak yang kuhirup, untuk lautan awan dan ilalang yang menghampar, untuk lelaki tua yang telah beristirahat dengan tenang di langitMu dan untuk lelaki yang selalu menggenggam hatiku erat ke hatinya. Aku berterima kasih untuk kesemua itu, Tuan. Terima kasih.


Gamalama
                                                              2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar