Pukul 03.30 pagi itu.Ku nyalakan
mesin scooter ku dan langsung meluncur cepat membelah jalanan yang sunyi.Angin
malam yang menikam iga tak lagi kuindahkan.Kupelankan laju motorku dan
kubiarkan angin itu menyapu wajah dan mataku yang sembab. Kuarahkan setir
menuju ke pinggiran kota, tak ada terminal pasti hanya ingin menikmati malam
ini dan melepaskan seluruh masalah. Jika memiliki masalah, dengan mengendarai
Loli ku membelah jalanan kota, maka perlahan masalah itu akan kulupakan. Namun
kali ini berbeda, sudah 2km berlalu dan aku masih merasakan ada tetesan asin
itu mengalir perlahan membasahi pipi. Hush – Hush milik Pussycat Dolls dengan lirik egois mengalun perlahan melalui
earphone sungguhpun juga tak membantu, hanya menambah debit air yang keluar
dari bola mataku. Aku benar – benar jatuh kali ini.Aku tak menyangka bisa
seterpuruk ini hanya karena hal brengsek itu.Cinta.
“Annnjjjeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeenggggggggggggggggggggggggg”,
teriakku keras berkali – kali panjang.Hanya jalanan lengang yang melongo
membalas teriakanku.
******************************
Nafasku memburu berpacu dengan
jantungku yang mungil. Baru setengah jalan dan biji mataku sepertinya akan
keluar dari tempatnya. Beban berat dipundak dan medan yang cukup sulit bagiku
yang seorang anak mami yang tak pernah diajak masuk hutan sepertinya akan jadi
gala premiere yang menjengkelkan. Kakiku rasanya diikat barbell seberat 5kg dan
carrier yang kubawa rasa – rasanya ingin kubuang saat ini juga jika tidak
mengingat semua logistik yang ada di dalamnya.Kuperhatikan wajah mereka satu –
persatu.Damn. Mereka biasa saja,
malah ada yang cengar – cengir macam kuda jatuh cinta.Usut punya usut kasat
punya kusut, ternyata banyak yang berpasangan.Pantesan aja, kalo gak ni cewe – cewe manja dari tadi mungkin ngos –
ngosan kayak kebo lari zig – zag 5km deh. Dalam hati kumaki diri sendiri
mengapa mau saja diajak untuk mengikuti kegiatan ini.Agenda rutin teman –
temanku ini dilakukan tiap pergantian tahun. Kali ini puncak gunung Salahutu
jadi target pendakian. Aku tak pernah
ikut sebelumnya tapi dipaksa sahabatku yang wajahnya innocent dengan sedikit meng- copypaste
adegan sinetron Indonesia yang payahnya tak ketulungan itu, akhirnya aku
meleleh juga. Bukan karena aku kasihan atau tertarik, hanya saja jika tak
kuiyakan tak lama lagi aku akan muntah. Dan Tereeeeeeeeeeeng…..
Disinilah aku.Berada di belantara yang tak kukenali dengan mereka yang tak
semuanya kukenali.Cacing diperutku pun sudah sedari tadi menjelma jadi Shahruk
khan dan Kajol, berkejaran kesana kemari dan berdendang tak jelas dalam usus –
ususku. Tak kusangka makian dari benakku pun menjadi server yang mengirim content dangdut music ke perutku
menyemarakkan pesta cacing – cacing itu. Alhasil makin lapar.Hajoooooooooooooooooohhhhh…
“Breaaakkkkkk………. Kita break 15
menit dulu disini,” ucap seseorang berambut gimbal temannya teman temanku yang
sepertinya leader pasukan siap tempur ini.
Tadi aku datang terlambat dan tak sempat berkenalan satu – satu jadi aku
tak kenal siapa dia dan peduli setan, yang penting aku bisa istirahat sejenak.Oooh thank U God ,I love U so much.. much.. much.. batinku sambil menengadah langit
membual Tuhan. Kuraih botol air mineral yang tinggal dasar dan sepotong roti
coklat sizeXL dari dalam carrier bag, kuemut perlahan. Roti ini kubeli di warung Bi Rasmi,
sepertinya dibuat dengan bahan terbaik dengan campuran coklat murni dan keju impor dari Belgia, baru pernah kurasakan roti
seenak ini di dunia. Ngeeeek. Lebay..tahulaah
lapeer.
Matahari tepat berada vertikal dengan
kepalaku.Panasnya tidak terlalu terasa karena mungkin banyak pohon rindang yang
meneduhi kami.Kuperhatikan satu – persatu teman seperjalananku itu.Kami
berjumlah delapan orang, terdiri dari empat cowok dan empat cewek.Enam
diantaranya pasangan kekasih.Pelajaran nomor kesekian kalinya buatku, jangan
pernah bepergian dengan temanmu yang berpacar jika kamu sendiri tak memiliki
makhluk berahang lebar itu. Jika tak menyenangkan maka hanya buat kita macam
kambing congek yang sukanya cengar – cengir mengiyakan apa saja yang dikatakan.
Dan kalimat yang terakhir itu yang sering terjadi.
“Heei..jangan dilipat de’ kakinya,
ntar urat – urat kaki lo timbul semua. Peredaran darah gak lancer soalnya,” ada
yang bersuara.Aku berbalik. Eh ternyata si gimbal tadi. De’??sejak kapan gua jadi adek lo.. Ternyata berjalan menyusuri
tanjakan – tanjakan sialan itu membuat emosiku labil.
“Eh bang..iyah bang,” kataku
mengiyakan tanpa lepas mengemut roti ku.
“Baru pertama kali naek gunung
ya?Capek ya?” tanyanya.
Menurut
loooooooo…………..
“Iyah
bang, baru pernah naek. Tuh diajak ama si Tia tuh,” kataku sambil menunjuk yang
dimaksud.Yang dimaksud masang senyum
macam senyum si duyung aspalela.
“Oooh..tapi masih semangat kan?”
tanyanya lagi. Lama – lama ni si gimbal
kayak dosen statistik gua ya. Nanya mulu dari tadi.
“Iyah
bang, masih semangat kok. Masih lama ya kita nyampe puncaknya?”
“Kalo kita cepat berarti gak lama
lagi kok. Paling lambat kita jalan sekitar 3jam-an lagi, tinggal menyusuri
beberapa tanjakan lagi. Udah, dan kita nyampe di puncak deh.”
Glek.…Mampus gua.Dia bilang apa? 3 jam? Harus jalan 3 jam lagi?
“Oiyah, lo yang tadi terlambat khan?
Kita blom sempat kenalan. Gua Fauzan.”Katanya sembari mengulurkan tangan.
“Oiyah gua Risha.” Sapaku menimpali.
“Risha kuliah satu angkatan ma Tia
ya?.” Tanyanya lagi sambil menggaruk rambut gimbalnya.
“Hu um.”Kujawab pendek.
&nsp; “Damai berada disini.” Lanjutnya
tanpa membutuhkan pendapatku.
Entah mengapa diam sejurus
kemudian.Dia diam dan akupun ikut – ikutan diam. Angin berhembus pelan
menyusuri pepohonan dan mengayunkan dahan – dahannya.Kuperhatikan wajahnya.Manis juga si pria ini… pikirku mengikuti
naluri natural wanitaku. Dia buang pandangannya jauh menenggelami lembah yang
terhampar tepat di tempat kami duduk.Dari tempat ini kita dapat melihat dengan
jelas jejeran pulau indah.Sepertinya canda tawa keras teman – temanku tidak
sedikitpun menggubris hayalannya.Dia benar – benar tenggelam di dalamnya.
“Zaan… kayakya kita dah boleh jalan
sekarang ne, hampir malam.” Teriak seorang yang bernama Dani yang performance nya tidak jauh beda dari
yang diteriaki. Yang diteriaki akhirnya kembali ke dunia nyata lagi.
“Oiyaaah… break selesai. Kita lanjut
ya.Periksa kembali, jangan ampe ada yang ketinggalan. Dhan lo lead ya. Gua
backing.Kita jalan agak cepat soalnya dah mo malam.Jarak jangan jauhan y.”Instruksinya
padat.
“Siaaaap boss.” Semua menimpali.
Carriers berat kita pikul kembali.
Sandal – sandal gunung yang menempel di kaki dikencangkan juga.Beruntung bagi
mereka yang berpacar.Jika merasa tidak mampu memanggul beban mereka, bisa
ditrasnfer ke pundak lelakinya, ataupun jika sudah istirahat bisa dipijitin
sana sini. Lah dirikuuu,… hiksss…
Kita mulai mendaki dan terus mendaki
menyusuri rimba nan agung. Udara makin terasa dingin dan kabut mulai
menyetubuhi.Aku takjub. Dalam hati aku bujuk jiwa untuk akan kembali mendaki ke
tempat – tempat seperti ini lagi.
“Mo coba berjalan tanpa sandal,
Isha?.” Tanyanya sedikit berbisik.Aku tak sadar jika posisi jalanku kini berada
tepat di hadapannya.Dan kini dia memanggilku dengan sebutan itu membuatku agak
merasa aneh.
“Tanpa sandal? Tapi kakiku
sensitive. Takut luka bang.”
“Coba aja. Hanya untuk beberapa
langkah ke depan. Coba hal baru itu baik loh”
“Hmmm… oke deh.”
Kubuka rekatan sandal gunungku
enggan.Sedikit goresan saja bisa membuat kakiku merah – merah seharian.Dia
berbaik hati untuk memegang sandalku.Ku langkahkan kakiku hati – hati memijak
tanah yang agak basah itu.Mulai nyaman dengan pijakanku, aku kembali fokus
dengan berat beban di pundak yang makin lama sepertinya makin berat.Sesaat
kemudian, aku merasa menginjak sesuatu yang sangat lembut.Setengah terkejut
perpaduan dingin dan lembutnya.Aku arahkan pandangan kearah kakiku.Ternyata disana
terhampar lumut hijau tebal seperti karpet yang digelar Tuhan untuk para
pendaki.Subhanallah.Kubalik badanku
dan tersenyum simpul padanya dan dibalas dengan kata pendek.
“Welcome to my world.”
Teman - temanku baik cewek – cewek
maupun cowoknya yang amatiran dalam dunia daki mendaki ini kelihatannya sudah
mulai menggerutu dan dengan pertanyaan yang sama diutarakan. Kapan nyampe nya sih? Masih lama ya?.
Dan dengan jawaban yang sama dari tadi Sebentar
lagi dah nyampe kok. Padahal nyatanya masih harus berjalan jauh.
Setelah beberapa lama berjalan di
jalanan rata dan sedikit mendaki kita akhirnya sampai di puncak gunung
itu.Puncak pertama yang kutaklukkan.Puncak itu diselimuti kabut tipis.Pepohonan
khas yang tak begitu tinggi tumbuh disekitar tanah kosong puncak.Botol – botol
kosong maupun berisi tergantung diantara cabang – cabang berlumut pohon.Teman –
teman yang kelelahan tampak telah energik kembali, berteriak – teriak tak
jelas.Aku sendiri mematung tak bersuara.Kubiarkan kabut menerpa wajahku. Tak
menyangka aku bisa berada setinggi ini.
Ada perasaan aneh muncul dari balik dada, aku tak bisa mengiterpretasi.Mungkin
jatuh cinta, mungkin hanya kagum pada puncak berkabut ataukah pada diri yang
berani jauh dari rumah yang penghuninya super duper protektif.
“Welcome to the pick of Salahutu. Take
your time to feel the breath. You’ll feel your own breath on it finally.”Katanya
membule sambil lalu.Aku telaah kata – katanya.Gak nyampe.Kubawa mataku menuju ke si Fauzan ini. Dia mengambil
posisi tepat di salah satu sudut puncak itu, dia merogoh sebatang pena dan
sepertinya buku harian dari dalam back pack hitam kecilnya.
Menulis.Kutinggalkan dia dan buku hariannya dan menurunkan carrier berat di
pundakku.
Hari mulai gelap dan udara makin
dingin. Dua buah dum dengan kombinasi biru hitam menempel di sisi lain puncak.
Malam ini Dhani yang jadi kokinya dan pacarnya Mita merangkap asisten koki.Tetepp.
“Makanan is ready. Wallaaahhhh….
Spagetti ala chef Mita dan chef Dhani.” Lagak Mita kayak koki pro.
“Enak gak ni? Kayaknya dari
tampilannya gak meyakinkan deh.” Tia menggoda
“Waaahhh.. ngeremehin nih anak. Gini
– gini pernah sekolah masak nih.” Mita timpali.
“Sekolah masak di dapurnya Dhani ya,
gak masak malah dipeluk.” Haris menambah bumbu.
Dan malam itupun kita lewati dengan
candaan – candaan hingga pagi menjemput. Kopi dan snack yang dibawa kawanan ini
jangan ditanya banyaknya. Fauzan sampai senyam senyum waktu lihat isi carrier
kita satu per satu.
“Mau dagang disini mbak – mbak???.”Begitu
katanya mengejek.
Kita berencana stay untuk dua malam
di puncak ini karena baru besok malam pergantian tahunnya. Tak lupa isi carrier
tadi terisi dengan beberapa kembang api warna warni untuk perayaan kecil –
kecilan.
“Blom tidur..??” Tanya pria gimbal
itu mengagetkan. Aku memang terjaga malam ini.Tak tahu mengapa.Kubuka sedikit
resleting dum untuk sekedar menengok kabut dini hari.
“Gak bisa tidur. Bang juga kok blom
tidur..???”Tanyaku balik.Aku mulai terbiasa dengan sebutan Bang karena tahu
ternyata dia memang lebih tua 6 tahun dariku.Yang ditanya malah hanya
tersenyum.
“Gabung yuuk.” Katanya sambil
mengisyaratkan duduk disampingnya.
Kuraih sandal dan gabung bersamanya
ditepian dum.Dia menyodorkan kopi hangat untukku.Kuseruput kopi hitam itu masuk
ke dalam tenggorokan menghangatkan tubuh yang memang menggigil.
“Bang sejak kapan suka naek gunung?”
“Hmmm… dari SMA sudah suka naek
gunung. Hobby hingga jadi candu..hehehe”
“Capeeekkk… tapi emang sih terbayar
dengan view nya.”
“Gunung itu mendamaikan. Alam itu
refleksi Tuhan.Kita akan lebih mengenal Tuhan lewat alam.”
Aku tak menyahut.Angin da kabut
bersinergi membuatku ingin memeluk waktu ini bersamaku dan membawanya pulang
bersamaku.
“Kamu pasti akan kembali kesini
lagi.”Tandasnya padat.
“Kok Bang yakin gua bakal kembali
kesini lagi..???”Tanyaku penasaran.
“Sepertinya lo bakal candu..
hehehe…” Dia ngasal.
“Hmmm… maybe yes maybe no.” Timpalku
sejurus.
“Lo mau gak jalan ma gua??”Tanyanya
pelan dalam hirupan kopinya.Aku yang malah tersedak.
“Maksudnya?”Tanyaku memperjelas.
“Gua suka ama lo.Gak terlalu banyak
bicara, suka nyelonong sembarang.Buat apapun sesuka lo. Gua suka lo, De’.”
Terangnya benar – benar dalam ketenangan jiwa dan raga dalam hirupan kopi
selanjutnya.
“De’ mau gak jadi pacar
gua?”Tanyanya serius kali ini.
“Hmmm… kita kan baru kenal, Bang.”
Jawabku grogi.
“Kita masih punya banyak waktu untuk
kenalan kan? Gua beneran suka ma lo.”
“Sebenarnya gua juga suka ama Bang
sih, hanya gak yakin.Ada stereotype anak – anak yang bilang anak – anak PA suka
mainin cewek.”
“Terserah de’ aja gimana maunya,
tapi gua gak ingin ditolak.”
Aku berpikir lama sambil tenggelam
dalam diam. Hingga akhirnya subuh itu, kita berdua sepakat untuk berjalan dalam
suatu hubungan yang tidak terlalu serius. Jalani apa adanya dan normal – normal
saja. Kita juga sepakat tidak perlu dipamer – pamer ke yang lain. Dari sinilah
mulailah perjalanan kisah kasih manis nan aneh kita.
*********************************
“Happy 6th anniversary,
jelekku.”Katanya sambil melingkarkan tangannya ke pinggangku yang agak
kedinginan.
“Happy anniversary juga, jelek. Gak
nyangka ya, hubungan kita bisa bertahan ampe tahun ke 6. Puji Tuhan.” Balasku.
“Iyah. Telah banyak hal yang kita
lewati bersama. Always stay by me.” Lanjutnya.
Hari itu, kita berdua merayakan hari
ulang tahun jadian kita di puncak gunung Binaya.Begitulah kita sering
menghabiskan waktu luang dengan memijakkan kaki di puncak – puncak
kedamaian.Seperti katanya dulu, memang diriku juga telah candu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar