Minggu, 03 Februari 2013

Terminal Tunggu dan Kenangan.

            Menyeringai gadis manis kecil memandangku, kualihkan mataku sejenak dari novel yang sedang kubaca dan kusambangi dia dengan senyumku yang tak kalah manisnya. Kuperhatikan adik kecil yang sepertinya dari tadi dia juga memperhatikanku. Sepasang headphone menghiasi kedua telinga putihnya. Jemari lentiknya cekatan touching i- Pad putih apple yang digenggamnya, mungkin sedang main games atau mungkin juga sedang memilih lagu untuk didengar. Rambut hitamnya diikat melipat sekenanya. Beberapa helainya dibiarkan terurai lembut menghiasi leher jenjang dengan bulu – bulu halus itu. Kuperkirakan usia anak ini sekitar 7 atau 8 tahun. Sejurus aku bertransformasi menjadi peramal dan menerawang jauh jika gadis cilik ini akan tumbuh menjadi salah satu dari gadis – gadis yang dianugerahi kecantikan sempurna dari Sang Tuan. Anak sekecil ini sudah begitu dimanjakan dengan gadget – gadget  mahal impor itu. Kunapak tilas hidup lalu ketika aku seusianya. Aku senyam – senyum sendiri. Jangankan gadget -  gadget itu, hape keluaran masa itu yang tebalnya 5cm itu pun belum aku dan teman – teman kampungku miliki. Kita lebih senang bermain berkelompok jika dibandingkan dengan anak – anak kecil sekarang yang lebih menjunjung tinggi individualitas, paling banyak main bertiga.
            Waktu aku seusianya, tak ada i – phone, tak ada psp, tak ada laptop apalagi I – pad (paling banter cuma ada tetris layar hitam putih noh.. hahaha). Kucoba - coba membongkar file “games zaman doeloe” yang entah kusimpan dimana dalam memori otak kecil ini. Ternyata ada beberapa games yang masih kuingat awan – awan (?????).

Ø  Barangko Cincing
            Jenis permainan ini membutuhkan banyak pemain, terdiri dari 8 atau lebih pemain yang kemudian akan dibagi sama rata menjadi 2 kelompok. 2 kelompok yang berlawanan tersebut akan saling berhadapan, kemudian masing – masing pemain mengambil posisi duduk dengan jarak serentang tangan dan menempatkan kedua tangan di balik pinggul. Setiap kelompok memilih leader mereka, yang nantinya akan bernyanyi sambil mengitari anggotanya satu persatu. Si leader akan berpura – pura meletakkan sesuatu (biasanya kita meminimalisir anggaran dengan menggunakan sebiji batu kerikil, hallaaaahhh.. :p) ke dalam tangan anggotanya itu. Padahal sebenarnya hanya 1 pemain yang benar – benar menggenggam batu itu. Nah, inilah tugas sang lawan untuk menerka pada siapakah batu itu digenggam. Nyanyian yang kumaksud itu kurang lebih seperti ini:
Barangko - barangko cincing, si toleng tanah,
si toleng bini, balumpa pagar sigugurege
            Sang leader akan mengulang – ngulang nyanyian itu hingga dia merasa batunya telah aman dan tidak mudah diterka lawan. Masing – masing anggotanya pun memasang raut wajah yang serius seakan batunya berada pada genggamannya dan takut diterka (make ilmu nipu juga, hehe). Jika terkaan si leader lawan salah maka permainan itu akan di restart. Namun sebaliknya, jika terkaan si leader benar maka si leader lawannya itu harus siap kehilangan salah satu punggawanya. Hal itu dilakukan terus menerus hingga kelompok dengan sisa anggota terbanyak akan memenangkan pertandingan. Yang kalah akan menanggung konsekuensi berupa hukuman yang akan diberi oleh kelompok yang menang.
            Dulu, seingatku. Biasanya games ini kita mainkan di lapangan bola kampung ataupun halaman rumah adat yang luas, dan bukannya cuma 2 atau 4 kelompok saja yang main disitu tapi lebih. Kalian bisa bayangkan betapa ramenya kita dulu. Oh I really miss that time, as if we all friends. No matter who you are and what you had. Benar – benar memupuk rasa kebersamaan.
Ø  Taripang
Games yang satu ini agak aneh tapi seru. Saking anehnya agak bingung ngejelasinnya. :D
Aturan games  ini, pemainnya terdiri dari beberapa orang. Selain seorang yang bertugas menebak itu, seluruh pemainnya masuk ke dalam sarung dan atau ditutup dengan beberapa sarung. Posisinya terserah, mau duduk, mau tidur, mau pelukan. Terserah beneran. Setelah itu, yang bertugas di luar sarung tadi meraba – raba kepala pemain yang didalam sarung tadi. Pada akhirnya tangannya akan berhenti di salah satu kepala dan mulai menanyakan dengan sedikit melagu :
Yang jaga                     : taripang, taripang darimana?
Yang dipegang                         : dari Sanana
Yang jaga                     : bawa apa deng apa?
Yang dipegang             : bawa sagu deng ikang.
Yang jaga                     : coba taripang manangis !
Yang dipegang             : (@^&#*(*$^Q*&%#*@^*Q*^(&
Inti dari pertanyaan yang dilagukan itu adalah pemain yang bertugas jaga tadi ingin mendengar suara pemain yang dipegang kepalanya tersebut. Dia akan berusaha menerka siapa itu melalui suaranya. Dan yang dipegang pun agak menyamarkan suaranya agar tidak gampang ditebak. Tangisan yang dikeluarkan pun ada yang seperti kucing mengeong, suara kuntilanak, jeritan banci kejepit, dsb. Tak ayal membuat kita kadang ngakak mendengar itu semua. Bagian yang paling lucu akan terjadi, jikalau ada salah seorang yang kentut dengan harum nan aduhai di dalam sarung sempit dan tertutup itu. Bisa dibayangkan kita yang tadinya sedang duduk berdekatan ataupun pelukan dalam sarung itu akan lari kucar kacir untuk menghirup udara segar. True Games, :D
Jika kita perhatikan betul, kita akan mendapati permainan yang berasal dari kampungku di salah satu sudut Jazirah Leihitu, Maluku ini kebanyakan kita mainkan dengan attach musik di dalamnya. Memang sih, agak gak jelas musik apa itu, yang penting happy deh.. hahaha..
Aku masih ingat ketika telah janjian dengan teman – temanku untuk bermain games ini, maka sarung kakekku satu – persatu akan hilang dari lemari. Sudah bagus kalau aku kembalikan ke lemari, lebih banyaknya aku biarkan dibawa teman, hasilnya aku akan disidang di dalam gudang jika kakekku mengenali salah satu sarungnya dipakai ayah temanku. Hihihi.

Ø  Tong Liki Tong
Tong, tong liki tong. Liki asilulu tong. Sa’adiah orang bae mau pulang k wahai,
mama pukul beta, beta mati jua asal beta lia tanah Hila jua. Maso ka tarada da da da,
            Kurang lebih begitulah nyanyian iringan permainan ini. Jenis permainan ini sepertinya sama dimainkan dengan beberapa daerah di Indonesia, hanya saja nama dan nyanyiannya yang berbeda. Teteep.
            Games ini dimainkan oleh beberapa pemain. Tiap – tiap pemain akan meletakkan tangannya di pundak teman di depannya. Begitu seterusnya hingga memanjang seperti ular. Ada dua pemain yang bertugas untuk berlagak menjadi semacam pintu untuk dimasuki. Sambil menyenandungkan lagu diatas sambil bergerak mengitari dan memasuki pintu tadi hingga lagunya habis. Pemain yang stuck di pintu itu, dia akan memilih untuk memilih salah satu dari 2 pemain yang jaga tadi. Biasanya 2 pemain itu dijuluki dengan nama buah semisal anggur dan apel. Ketika pemain yang memanjang tadi habis maka waktunya untuk 2 pemain jaga tadi mengatur anak buah yang mengikutinya untuk ancang – ancang posisi untuk selanjutnya uji kekuatan dengan tarik tambang.
            Tawa dan canda biasanya akan meramaikan permainan ini. Tidak ada dendam walau dalam permainan ini kadang ada yang terjatuh dan melukai tengkuk atau lutut kita, tetap sportif dan happy.



**
            Berbagai macam permainan yang kuingat itu, benar – benar menyisakan memori masa kecil yang menyenangkan bersama teman – teman kecilku. Bermain bersama, berlari bersama dan hujan – hujanan bersama yang dalam bahasa kampungku disebut panula itupun sering kita lakoni. Aku merindukan saat – saat itu. Biasanya permainan – permainan itu dimainkan hampir tiap hari, tapi akan lebih seru dan ramai lagi kalo Ramadhan tiba. It was outstanding and unforgettable moments ever. Masih teringat jelas dibenakku nenekku sering menggigit pahaku ketika menjemputku kala main sampai lupa sholat dan mengaji. hehehehe.
            Sebenarnya ada beberapa permainan lagi yang kuingat samar, seperti pele cabar, enggo basambunyi dan ana tabera – bera. Permainan – permainan itu jika kita prhatikan, bukan saja sekedar permainan tapi didalamnya terkandung nilai – nilai yang bisa dipelajari dan diimplementasikan dalam kehidupan, seperti kebersamaan, kerukunan dan cinta kasih. Namun sayang permainan – permainan ini sudah jarang terlihat sekarang. Jika aku pulang kampong saat Ramadhan jalanan begitu sunyi, tak ada suara tawa canda anak – anak kampong. Jarang. Anak – anak sudah dimanjakan dengan gadget – gadget high tech. Sinetron – sinetron sampah kebanyakan minus edukasi pun membentuk pembodohan karakter massal yang unfortunately senang diikuti orang tua mereka juga. Hasilnya, anak – anak mulai dari usia 6 tahun pun sudah tahu tentang cinta – cintaan. Jika dibandingkan dengan kita dulu, hahahaha… jauuuuhhh. Daripada tongkrongin tipi mendingan main dengan teman – teman.
Akibat sinetron – sinetron remaja itulah, adik cewek ku tiap kali mau keluar rumah wanginya bisa diendus seluruh penghuni rumah. Akibat sinetron itu juga lah, adik ngajiku yang baru kelas 1 SD menyatakan padaku kalau dia jatuh cinta pada ustadz teman ngajarku yang usianya terlampau puluhan tahun darinya. Dia akan sangat malu jika temanku itu tersenyum padanya, dia dengan spontan akan menutup wajah mungilnya dengan mukena. Sungguh buatku terkekeh sekaligus tertegun melihat fenomena itu. Benar – benar zaman aneh. 
Adik kecil yang tadi memperhatikanku kini telah tertidur pulas di pangkuan ibunya di ruang tunggu pelabuhan Ambon ini. Mungkin kecapekan menunggu kapal yang belum – belum muncul juga. Hiruk pikuk manusia lalu lalang di dalam ruang tunggu tak menggubris mati sementara malaikat kecil itu. Kurogoh headphone dari dalam backpack hijau milikku dan mulai mendengarkan list lagu – lagu idolaku Celine Dion. Ditemani dengan Coca Cola dingin, aku kembali larut dalam novel yang tadi kubaca lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar