Menyeringai gadis manis kecil
memandangku, kualihkan mataku sejenak dari novel yang sedang kubaca dan kusambangi
dia dengan senyumku yang tak kalah manisnya. Kuperhatikan adik kecil yang
sepertinya dari tadi dia juga memperhatikanku. Sepasang headphone menghiasi
kedua telinga putihnya. Jemari lentiknya cekatan touching i- Pad putih apple yang digenggamnya, mungkin sedang main
games atau mungkin juga sedang memilih lagu untuk didengar. Rambut hitamnya
diikat melipat sekenanya. Beberapa helainya dibiarkan terurai lembut menghiasi
leher jenjang dengan bulu – bulu halus itu. Kuperkirakan usia anak ini sekitar
7 atau 8 tahun. Sejurus aku bertransformasi menjadi peramal dan menerawang jauh
jika gadis cilik ini akan tumbuh menjadi salah satu dari gadis – gadis yang
dianugerahi kecantikan sempurna dari Sang Tuan. Anak sekecil ini sudah begitu
dimanjakan dengan gadget – gadget mahal impor itu. Kunapak tilas hidup lalu
ketika aku seusianya. Aku senyam – senyum sendiri. Jangankan gadget -
gadget itu, hape keluaran masa itu yang tebalnya 5cm itu pun belum
aku dan teman – teman kampungku miliki. Kita lebih senang bermain berkelompok
jika dibandingkan dengan anak – anak kecil sekarang yang lebih menjunjung tinggi
individualitas, paling banyak main bertiga.
Waktu aku seusianya, tak ada i –
phone, tak ada psp, tak ada laptop
apalagi I – pad (paling banter cuma ada tetris layar hitam putih noh.. hahaha).
Kucoba - coba membongkar file “games zaman
doeloe” yang entah kusimpan dimana dalam memori otak kecil ini. Ternyata ada
beberapa games yang masih kuingat
awan – awan (?????).
Ø
Barangko
Cincing
Jenis permainan ini membutuhkan
banyak pemain, terdiri dari 8 atau lebih pemain yang kemudian akan dibagi sama
rata menjadi 2 kelompok. 2 kelompok yang berlawanan tersebut akan saling
berhadapan, kemudian masing – masing pemain mengambil posisi duduk dengan jarak
serentang tangan dan menempatkan kedua tangan di balik pinggul. Setiap kelompok
memilih leader mereka, yang nantinya
akan bernyanyi sambil mengitari anggotanya satu persatu. Si leader akan berpura – pura meletakkan
sesuatu (biasanya kita meminimalisir anggaran dengan menggunakan sebiji batu
kerikil, hallaaaahhh.. :p) ke dalam tangan anggotanya itu. Padahal sebenarnya
hanya 1 pemain yang benar – benar menggenggam batu itu. Nah, inilah tugas sang
lawan untuk menerka pada siapakah batu itu digenggam. Nyanyian yang kumaksud
itu kurang lebih seperti ini:
Barangko - barangko cincing, si toleng tanah,
si toleng bini, balumpa pagar sigugurege
Sang
leader akan mengulang – ngulang
nyanyian itu hingga dia merasa batunya telah aman dan tidak mudah diterka
lawan. Masing – masing anggotanya pun memasang raut wajah yang serius seakan
batunya berada pada genggamannya dan takut diterka (make ilmu nipu juga, hehe).
Jika terkaan si leader lawan salah
maka permainan itu akan di restart. Namun
sebaliknya, jika terkaan si leader benar
maka si leader lawannya itu harus
siap kehilangan salah satu punggawanya. Hal itu dilakukan terus menerus hingga
kelompok dengan sisa anggota terbanyak akan memenangkan pertandingan. Yang
kalah akan menanggung konsekuensi berupa hukuman yang akan diberi oleh kelompok
yang menang.
Dulu,
seingatku. Biasanya games ini kita
mainkan di lapangan bola kampung ataupun halaman rumah adat yang luas, dan
bukannya cuma 2 atau 4 kelompok saja yang main disitu tapi lebih. Kalian bisa
bayangkan betapa ramenya kita dulu. Oh I really miss that time, as if we all
friends. No matter who you are and what you had. Benar – benar memupuk rasa
kebersamaan.
Ø Taripang
Games
yang satu ini agak aneh
tapi seru. Saking anehnya agak bingung ngejelasinnya. :D
Aturan games ini, pemainnya terdiri
dari beberapa orang. Selain seorang yang bertugas menebak itu, seluruh
pemainnya masuk ke dalam sarung dan atau ditutup dengan beberapa sarung.
Posisinya terserah, mau duduk, mau tidur, mau pelukan. Terserah beneran.
Setelah itu, yang bertugas di luar sarung tadi meraba – raba kepala pemain yang
didalam sarung tadi. Pada akhirnya tangannya akan berhenti di salah satu kepala
dan mulai menanyakan dengan sedikit melagu :
Yang jaga :
taripang, taripang darimana?
Yang dipegang : dari Sanana
Yang jaga :
bawa apa deng apa?
Yang dipegang : bawa sagu deng ikang.
Yang jaga : coba taripang manangis !
Yang dipegang : (@^&#*(*$^Q*&%#*@^*Q*^(&
Inti dari pertanyaan yang dilagukan itu
adalah pemain yang bertugas jaga tadi ingin mendengar suara pemain yang
dipegang kepalanya tersebut. Dia akan berusaha menerka siapa itu melalui
suaranya. Dan yang dipegang pun agak menyamarkan suaranya agar tidak gampang
ditebak. Tangisan yang dikeluarkan pun ada yang seperti kucing mengeong, suara
kuntilanak, jeritan banci kejepit, dsb. Tak ayal membuat kita kadang ngakak
mendengar itu semua. Bagian yang paling lucu akan terjadi, jikalau ada salah
seorang yang kentut dengan harum nan aduhai di dalam sarung sempit dan tertutup
itu. Bisa dibayangkan kita yang tadinya sedang duduk berdekatan ataupun pelukan
dalam sarung itu akan lari kucar kacir untuk menghirup udara segar. True Games, :D
Jika kita perhatikan betul, kita akan
mendapati permainan yang berasal dari kampungku di salah satu sudut Jazirah
Leihitu, Maluku ini kebanyakan kita mainkan dengan attach musik di dalamnya. Memang sih, agak gak jelas musik apa itu,
yang penting happy deh.. hahaha..
Aku masih ingat ketika telah janjian
dengan teman – temanku untuk bermain games
ini, maka sarung kakekku satu – persatu akan hilang dari lemari. Sudah
bagus kalau aku kembalikan ke lemari, lebih banyaknya aku biarkan dibawa teman,
hasilnya aku akan disidang di dalam gudang jika kakekku mengenali salah satu
sarungnya dipakai ayah temanku. Hihihi.
Ø
Tong
Liki Tong
Tong,
tong liki tong. Liki asilulu tong. Sa’adiah orang bae mau pulang k wahai,
mama
pukul beta, beta mati jua asal beta lia tanah Hila jua. Maso ka tarada da da
da,
Kurang lebih begitulah nyanyian
iringan permainan ini. Jenis permainan ini sepertinya sama dimainkan dengan
beberapa daerah di Indonesia, hanya saja nama dan nyanyiannya yang berbeda.
Teteep.
Games
ini dimainkan oleh beberapa pemain. Tiap – tiap pemain akan meletakkan
tangannya di pundak teman di depannya. Begitu seterusnya hingga memanjang
seperti ular. Ada dua pemain yang bertugas untuk berlagak menjadi semacam pintu
untuk dimasuki. Sambil menyenandungkan lagu diatas sambil bergerak mengitari
dan memasuki pintu tadi hingga lagunya habis. Pemain yang stuck di pintu itu, dia akan memilih untuk memilih salah satu dari
2 pemain yang jaga tadi. Biasanya 2 pemain itu dijuluki dengan nama buah
semisal anggur dan apel. Ketika pemain yang memanjang tadi habis maka waktunya
untuk 2 pemain jaga tadi mengatur anak buah yang mengikutinya untuk ancang –
ancang posisi untuk selanjutnya uji kekuatan dengan tarik tambang.
Tawa dan canda biasanya akan
meramaikan permainan ini. Tidak ada dendam walau dalam permainan ini kadang ada
yang terjatuh dan melukai tengkuk atau lutut kita, tetap sportif dan happy.
Berbagai macam permainan yang
kuingat itu, benar – benar menyisakan memori masa kecil yang menyenangkan
bersama teman – teman kecilku. Bermain bersama, berlari bersama dan hujan –
hujanan bersama yang dalam bahasa kampungku disebut panula itupun sering kita lakoni.
Aku merindukan saat – saat itu. Biasanya permainan – permainan itu dimainkan
hampir tiap hari, tapi akan lebih seru dan ramai lagi kalo Ramadhan tiba. It
was outstanding and unforgettable moments ever. Masih teringat jelas dibenakku
nenekku sering menggigit pahaku ketika menjemputku kala main sampai lupa sholat
dan mengaji. hehehehe.
Sebenarnya ada beberapa permainan
lagi yang kuingat samar, seperti pele
cabar, enggo basambunyi dan ana tabera – bera. Permainan – permainan
itu jika kita prhatikan, bukan saja sekedar permainan tapi didalamnya
terkandung nilai – nilai yang bisa dipelajari dan diimplementasikan dalam
kehidupan, seperti kebersamaan, kerukunan dan cinta kasih. Namun sayang
permainan – permainan ini sudah jarang terlihat sekarang. Jika aku pulang
kampong saat Ramadhan jalanan begitu sunyi, tak ada suara tawa canda anak –
anak kampong. Jarang. Anak – anak sudah dimanjakan dengan gadget – gadget high tech. Sinetron – sinetron sampah kebanyakan minus
edukasi pun membentuk pembodohan karakter massal yang unfortunately senang diikuti orang tua mereka juga. Hasilnya, anak
– anak mulai dari usia 6 tahun pun sudah tahu tentang cinta – cintaan. Jika
dibandingkan dengan kita dulu, hahahaha… jauuuuhhh. Daripada tongkrongin tipi mendingan main dengan teman –
teman.
Akibat sinetron – sinetron remaja itulah,
adik cewek ku tiap kali mau keluar rumah wanginya bisa diendus seluruh penghuni
rumah. Akibat sinetron itu juga lah, adik ngajiku yang baru kelas 1 SD
menyatakan padaku kalau dia jatuh cinta pada ustadz teman ngajarku yang usianya
terlampau puluhan tahun darinya. Dia akan sangat malu jika temanku itu
tersenyum padanya, dia dengan spontan akan menutup wajah mungilnya dengan
mukena. Sungguh buatku terkekeh sekaligus tertegun melihat fenomena itu. Benar
– benar zaman aneh.
Adik kecil yang tadi memperhatikanku kini
telah tertidur pulas di pangkuan ibunya di ruang tunggu pelabuhan Ambon ini.
Mungkin kecapekan menunggu kapal yang belum – belum muncul juga. Hiruk pikuk
manusia lalu lalang di dalam ruang tunggu tak menggubris mati sementara
malaikat kecil itu. Kurogoh headphone dari dalam backpack hijau milikku dan mulai mendengarkan list lagu – lagu
idolaku Celine Dion. Ditemani dengan Coca
Cola dingin, aku kembali larut dalam novel yang tadi kubaca lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar