Hari itu aku mendapat
teman baru. Aku jarang berteman karena kondisiku yang tak memungkinkan untuk
mendapatkan banyak teman. Bukan karena minder dengan keterbatasanku ini tapi
terlebih pada jarangnya aku bepergian. Amar teman baruku, seperti itulah dia
menyebut namanya. Dari percakapan singkat dengannya, aku bisa menangkap kalau
dia lelaki yang easy going, smart, dan juga hangat. Dia anak bibi,
pulang kampung untuk sekedar refreshing dari
kuliahnya di Bandung. Bibi pernah curhat padaku bahwa dia hanya punya satu
anak. Amar merupakan anak tunggalnya yang tak ayal sangat dikasihinya.
Setiap harinya dia
sering datang menyapaku dan semut – semut merahku. Aku sangat merasa nyaman
ketika berada disampingnya. Dia selalu menceritakan hal – hal lucu yang
membuatku tertawa terbahak – terbahak. Menghabiskan waktu dengannya membuatku
merasa spesial. Ada sesuatu yang bergejolak dari dalam dadaku. Aku tak tahu
rasa apakah itu. Rasa ini baru pertama kurasa. Ketika dia tiada aku sangat
merindukannya.
“Kenapa kamu, Tin. Blom
tidur lagi ya?. Senyum – senyum sendiri pula.” Aku tak sadar diperhatikan sedari
tadi oleh kakak yang terbangun.
“Ehmm.. gak kok kak.
Emang aku gak boleh senyum ya.?” Jawabku.
“Hatimu lagi senang ya?
Suka anaknya bibi ya?,” kakak menggoda
“Suka? Hmmm… mungkin.,
hehehehe…”
“Hmm.. dia tampan looh.
Hidungnya mancung, tatap matanya tajam. Rambutnya hitam agak gondrong. Dari
caranya memperlakukan kamu, kayaknya diaaaaa………” Kakak mendeskripsikan Amar
seraya menggodaku melempar bantal ke arahku yang membuatku terkejut.
“Ah.. kakaaaaaak.. tapi
kak…” kataku dengan nada serius, kakak mendengarkan dan kulanjutkan.
“Tapi dengan
kekuranganku seperti ini. Apa pantas memiliki rasa ini kak? Aku tidak pantas
kak. Apa mungkin jika aku menyukainya dan dia akan menyukaiku balik?”
Terdengar kakak
menghembuskan nafas panjang, berdiri menghampiriku di jendela dan memelukku dari
belakang. Dia membisikkan sesuatu ke telingaku.
“Adikku sayang.. siapapun yang hidup di dunia ini
pantas untuk mencinta dan dicinta. Karena itu fitrahnya manusia. Mungkin kamu
punya kekurangan tapi hatimu tetap ada dibalik dadamu. Beranilah mencinta, jika
kamu kecewa.. khan masih ada kakak disini untukmu”.
Sudah kusebutkan sebelumnya kakakku memang punya
cara sendiri untuk menguatkanku. Tapi kali ini aku masih ciut.
“Tapi kak, mana ada lelaki normal yang suka sama
cewe buta kak? Paling dia hanya kasihan padaku. Ya udahlah toh mungkin dia juga
tidak menyukaiku.”
“Hmmm….. khan blom diungkapkan kalo gak suka ma kamu
khan sayang.. ”
“Iyah juga sih.. tapiiiii…..”
“Udah gak usah tapi – tapi lagi. Oiiyah.. umur kamu
besok akan bertambah adikku. Apa yang kamu ingin di ulang tahunmu dari kakak?”
“Apa ya… ????
Jangan belikan aku pesawat lagi deh, belikan aku mobil aja kak.” Kataku
bercanda serius.
“Hahahahahaha… bisa – bisa kakak mati kerja banting
tulang baru bisa beli.”
“Hehehehehe… sejak ayah – ibu pergi meninggalkan
kita, hadiah terindah Tuhan ya kakak. Aku tidak ingin yang lain kak. Yang
penting kakak masih tetap ada menemaniku”
“Aku akan tetap ada adik, ada untukmu. Walaupun aku
sudah tak ada disisimu lagi. Kakak akan tetap ada disini dan disini.” Katanya
sembari menunjuk dada dan otakku.
“Truuuuusssss… adikku ini mau dibelikan apa? Yang
pasti bukan pesawat atau mobil ya? Hehehe,” lanjut kakakku.
“Hmmm… bunga aster. Iyah bunga aster. Sudah beberapa
lama, bunga aster unguku itu sudah lama tidak berbunga lagi kak. Aku ingin
mencium harum bunga itu di kamar ini lagi. Belikan ya kak.” Kataku merengek.
“Bunga aster ya? Oke deh. Besok kakak akan belikan
satu pot bunga aster ungu yang mekar – mekar menemanimu di pojokan titik –
titikmu itu. Menggantikan kakak kalo kakak sedang pergi.”
Kakak bergegas menuntun langkahku menuju tempat tidur,
mengecup keningku dan membaringkan tubuhnya disampingku.
*****************************
11.
45 pagi.
Bibi membawakanku jus tomat
kesukaanku. Dari mulutnya bibi pagi itu, aku tahu yang sebenarnya kalau Amar,
cowok yang kutaksir itu telah punya seorang kekasih. Bibi memang tak tahu
perasaan yang kusimpan pada anak tunggalnya itu. Lagipula biarpun bibi selama
ini baik padaku, belum tentu bahkan tak mungkin dia mengijikan anak satu –
satunya itu untuk berpacaran dengan gadis buta sepertiku. Pacar Amar seorang
gadis kota yang cantik dan muslimah. Begitulah bibi berulang kali
mendeskripsikan gadis anaknya itu dengan nada bangga.
Hatiku begitu terluka dan sedih.
Tapi tak mungkin kutunjukkan perasaanku pada bibi. Aku hanya tersenyum dan
menyoraki bibi yang berapi – api.
“Amar menunjukkan foto pacarya..
cantiknyaaaaa… tak lama lagi mereka akan mengunjungi bibi, bibi senang sekali,”
cerita bibi
“Benarkah bi,? aku juga penasaran
dengan pacarnya si gondrong. Kalau mereka datang, jangan lupa dikenalkan kepada
Tina ya.” Jawabku menahan sakit dibalik dada.
“Pasti neng, bibi kenalin ya.
Pokoknya cantik sekali, kata Amar dia gadis yang sangat baik dan pintar masak.
Duuh gusti semoga dia jodoh anakku.”
Kakak,
dimana kamu? Aku ingin menangis di pangkuanmu, kak. Sudah kubilang aku tak
pantas mencintai kak. Hatiku sakit kak, tolong aku kak. Aku sudah bilang.. aku
sudah bilang kak. Aku sudah bilang. Tangisku dalam hati. Kurasakan mataku
mulai panas namun aku berusaha kuat dengan kata – kata kakak yang selalu ada untukku.
Samar – samar aku mendengar
celotehan bibi yang semakin panjang. Aku tak fokus lagi. Satu dua kata saja
yang dapat kutangkap. Jus tomatku pun tanpa sengaja kujatuhkan hingga pecah
gelasnya. Bibi bergegas membereskan semuanya dan aku minta maaf telah
merepotkan.
Tiba – tiba ada suara ketukan keras
di pintu. Ketukan itu berulang - ulang
seperti ada yang terburu – buru. Bibi sedang didapur membuang sisa pecahan
gelas, jadi aku berjalan meraba langkah menuju pintu berniat membukanya. Kuraba
ganggang pintu dan membukanya.
“Maaf apa benar dengan saudari
Tina?”, sebuah suara menyahut
“Iyah, dengan saya sendiri”,
jawabku.
Yang mengetuk pintu kayaknya ada dua
orang karena aku mendengar mereka berdua agak berbisik – bisik. Sedikit
kutangkap mereka berdua saling bertanya apakah aku buta.
“Maaf dengan siapa ya? Dan perlu apa
ya?”, tanyaku kembali.
“Oiyah, kami dari kepolisian. Tadi
pagi sekitar pukul 11 terjadi kecelakaan mobil, mbak. Seorang wanita muda
tertabrak mobil truk ketika menyeberangi jalan di depan toko bunga. Wanita yang
teridentifikasi bernama Tika Darmawan itu dari KTP nya dia tinggal disini dan
dari dalam dompetnya ada fotonya dengan anda jadi kami datang kesini ingin
menginfokan. Korban sekarang berada di rumah sakit Darma Ibu.”
Aku rasakan tiba – tiba dunia
berhenti, kakiku beku tak dapat kugerakkan. Aku diam. Aku tak tahu harus
berbuat apa. Aku bingung harus bagaimana. Kepalaku rasanya sangat pening.
Tuhan. Setelah itu aku tak tahu lagi. Belum pernah aku merasa berada di ruang
segelap ini sebelumnya.
Entah berapa lama aku tertidur. Aku
tak tahu. Dan ketika aku sadar kembali. Disana ada bibi dan Amar yang
menemaniku. Polisi – polisi tadi tampaknya telah pergi. Aku tak sanggup
menangis. Kakakku telah pergi, pergi untuk selamanya. Dia takkan ada disini
menemaniku lagi. Dia tak ada untuk meyakinkan aku bahwa semuanya baik – baik
saja. Dia takkan ada disini untuk kukeluhkan masalah amar. Aku menangis sejadi
– jadinya. Aku menangis dan menangis hingga aku kelelahan. Amar menghampiriku
menyediakan bahunya untuk bersandar. Kutepis dia. Pergilah dariku, pergi sejauh
mungkin bersama semuanya. Aku hanya butuh kakakku.
Amar mengantarku dengan motor
kemudian menuju rumah sakit yang disebutkan polisi – polisi itu. Sepanjang
perjalanan mata butaku tak pernah berhenti mengeluarkan air mata. Air mata ini
tak mau berhenti hingga sampai di rumah sakit tersebut. Jika saja aku tak buta
maka aku akan berlari melepas tangan Amar yang sedang menuntunku masuk rumah
sakit itu. Berjalan memasuki kamar jenazah aku masih terisak. Bau anyir darah
tercium dari luar ruangan, kuremas kuat tangan Amar. Aku terhenti di depan
pintu. Aku tak siap menemukan kakakku diam tak bergerak tanpa candaan dan
cubitan halus yang selalu mendarat dipipiku.
Aku kumpulkan seribu keberanian demi
bertemu dengan kakakku tersayang. Aku lepas genggamanku dari lengan Amar.
Kulangkah meraba ke arah kakakku. Dia diam tak bergerak. Sekujur tubuhnya
begitu dingin. Kakakku dengan pelukan hangatnya kali ini hanya terbaring
dingin.
“Kakak, banguun.. Kak, banguuuunnn…
Kak, jangan tinggalin Tina sendirian. Kakak jahat. Siapa lagi yang menuntun
Tina, Kak. Kakak mata Tina, Tina akan benar – benar gelap kalo gak ada kakak.”
Tangisku mengguncang – guncang tubuhnya yang kaku.
“Kakak gak boleh tinggalin Tina, Kak….
Kakak.. Kakaaaaak…. ,” tangisku berulang – ulang. Aku tak mampu mengendalikan
tangisku. Amar menghampiriku dan menarikku untuk meninggalkan ruangan itu.
“Aku gak mau.. gak mau.. gak
maauuu.. aku mau sama kakak. Aku mau sama kakak.” Rengekku.
“Sudahlah Tin, kita tinggalkan
sebentar aja biar semakin cepat kita membawanya pulang”
“Gak mau, Mar.. gak mau..” tuntutku
tapi Amar terus memaksaku keluar dari ruangan itu.
***********************************
Sudah beberapa hari Kakak pergi. Bau
badannya masih melekat di baju dan perabotan rumah ini. Aku enggan memindahkan
segala barang – barang yang ditinggalkan kakakku. Baju kerja kakakku masih
tergelantung di belakang pintu itu. Setiap aku tidur aku selalu memeluk bantal
nya erat – erat agar dia selalu berada dekat denganku. Tak kusangka kecupannya
waktu kita akan tidur merupakan kecupannya yang terakhir. Aku sering mendengar
ada tapak kaki di dalam kamar ini, dan aku tahu kakakku masih ada disini
menjagaku. Harum aster ungu yang dibelinya sebelum dia pergi untuk selamanya
aku taruh di pinggir jendela setelah kucuci bekas darah yang tertinggal. Ada
lima bunga aster ungu yang mekar di pot itu. Setiap pagi aku mengecup bunga itu
seperti layaknya kakakku sering mengecupku.
Bibi dan Amar labih sering
menemaniku sekedar menemaniku dalam diam. Aku terluka karena cintaku pada Amar
dan tak bisa aku ungkapkan padanya apalagi pada bibi. Orang satu – satunya
tempat kuluapkan rasa tak disini menemaniku lagi. Aku dengar dari bibi Amar
akan balik ke Bandung karena liburannya sudah berakhir.
“Kamu sudah mau balik ke Bandung
ya?” tanyaku pagi itu ketika bibi menyuruh Amar membawakanku sarapan.
“Iyah Tin. Kamu gak apa – apa khan
aku tinggal. Gak boleh nakal ya. Aku udah anggap kamu seperti adik aku sendiri.
Aku gak mau apa – apa terjadi denganmu.” Katanya mengusap kepalaku.
Srrrrrrrrr…….
Darahku berdesir.
“hehehe… anterin aku ke pantai ya
sebentar sore, Mar. Mau yah?”
“Mau refreshing ya.. Oke deh, ntar
kita berdua jalan – jalan sebelum aku balik ke Bandung. ”
Sorenya, aku telah mandi yang bersih
dan wangi. Kukenakan baju kakakku yang ternyata pas ditubuhku. Kubawa tas
pinggang kecil bersamaku. Kurapikan tempat tidurku yang mungkin barantakan. Kusiram
bunga aster unguku dengan sedikit air.
“Cantik sekali, Tin.” Sapa bibi yang
sedang mengepel lantai.
“Makasih bi, bibi nanti tolong
siramin bunga asterku di kamar ya.”
Bibi mungkin mengangguk karena tak
ada suara. Kadang dia lupa sedang berbicara dengan orang buta. Sambil memanggil
keras – keras anaknya itu. Tak lama Amar pun datang sambil sedikit berlari.
“Siap bos?” tanyanya sigap agak
bercanda.
“Hmmmm… ayo berangkat.” Jawabku datar.
Kita meluncur menggunakan motor King Klasik – nya. Perjalanan dari rumah
ke pantai yang kami tuju sekitar 1 jam lebih. Aku sangat menikmati perjalanan
ini. Damainya hati mengetahui kamu berada dengan orang kamu cinta walau dia
tidak tahu perasaanmu. Berada dekat dengannya telah cukup bagiku. Angin hari
ini seakan bertiup hanya untukku. Rambutku terurai mengikuti arah angin. Dan setelah
beberapa lama.
“Kita
dah nyampe, Tin,” sahut Amar.
“Oh
iyah…,” aku turun perlahan dan Amar membantuku untuk Turun.
“Hmm…
pasir putih. Ombak yang tenang. Asik untuk berenang.”
“Jam
berapa ini, Mar?”
“Jam
lima sore. Emang kenapa?”
“Terima
kasih ya, sudah mengantarkan aku sampai disini. Kamu boleh pulang”
“Apa?
Tidak, aku mau disini bersamamu. Sebelum balik aku ingin menikmati hariku ini
bersama kamu, Tin.”
“Tidak
usah, Mar. Tolong. Aku ingin sendiri. Aku ingin berfikir.”
“Tapi
bagaimana kamu pulang, Tin? Berbahaya kamu disini sendirian.”
“Gak
apa – apa kok, aku bisa jaga diri. Aku ingin disini sampai malam. Lagipula kau
bisa menelponku untuk menjemputku. Benar khan?” aku tersenyum lebar kepadanya. Hatinya
luluh, dia berpamitan. Dia tidak pulang melainkan hanya menjauh sedikit dari
pantai ini dan berjanji akan membawaku pulang lagi.
Brrrrrrrrmmmm.... brmmmmmmmm…
Kubuka
sepatuku, aku berjalan menyusuri pantai. Merasakan pasir pantai membelai
kakikku. Aku tersandung dan kemudian bangkit dan berjalan lagi. Aku menunduk
dan meraba – raba pasir itu apakah aman untuk diduduki. Angin pantai berhembus
pelan, suara elang menukik pulang ke peraduan dn ombak yang berharmoni
membentuk nada indah ketika menghantam pasir putih. Disinilah biasanya aku dan
kakak menghabiskan waktu menghilangkan penat kakak terhadap pekerjaannya. Ku raih
sesuatu dari dalam tas kecilku. Ada pensil dan buku. Kugoreskan sedikit
tulisan. Walau aku tak tahu apakah bagus tulisanku, miring ataukan naik turun. Yang
aku ingikan yaitu menulis sesuatu untuk Amar, sebelum dia pergi meninggalkanku.
Dear
Amar..
Senang
mengenalmu. Aku tak pernah memiliki teman dekat selain kakakku. Aku tak tahu
pantas atau tidak untuk jatuh cinta padamu. Kakakku bilang siapapun pantas mencinta
dan dicinta. Tapi aku benar – benar tak merasa pantas. Aku ingin jujur bahwa
aku sayang ma kamu. Aku minta maaf telah mencintaimu. Selama hidup ini aku
sering terjatuh dan kakakku yang mengangkatku dalam kasihnya. Aku pikir kamu
akan seperti kakakku, ternyata kau punya seseorang istimewa, yang pasti tak
buta dan tak lama lagi kau akan pergi… hehehehe… aku sendirian. Sayapku patah
dan tak mampu terbang. Aku berusaha merangkak tapi aku tak mampu. Aku terlalu
takut untuk berjalan sendiri, Mar. Maafkan aku mencintaimu. Sampaikan salamku
pada gadismu dan pada bibi. Tolong bilang bibi
untuk merawat aster unguku ya.. sebentar lagi aku akan bertemu kakak. Tak
lama lagi indahnya pasir putih dapat kulihat dengan mataku sendiri.
Oiyyaaaa……..bilang
bibi juga, semut – semut merahku jangan lupa dikasih makan ya.. Terima kasih
dan maaf, Mar.
Wassalam…..
Tak kusangka hari telah malam. Kudengar
suara jangkrik bersahutan. Lagu Katy Perry mengalun sedari tadi tandanya ada
paggilan masuk tak kuacuhkan. Kukeluarkan soft
drink beserta tiga strip obat tidur yang kuambil dari kotak obat tadi. Kukeluarkan
satu persatu obat itu dan mengumpulkannya jadi satu. Kubuka tutup soft drink itu. Kuteguk seluruh obat itu
dan kemudian meneguk soft drinks
sebanyak – banyaknya. Kaleng soft drink dan
airnya terurai di pasir putih itu. Aku terbaring. Dadaku sesak serasa mau meledak.
Kepalaku serasa mau pecah. Kutengadah langit. Ada cahaya random.
“Itukah bintang kakak? Mengapa indahnya
tak sama dengan yang kau gambarkan,” kataku lemah. Kakakku ada disana. Aku merasakan
tubuhku lumpuh. Antara ada dan tiada kurasakan ada gerakan yang mendekat. Aku rasa
dipangku. Kakak, itu kaukah? Kakak,
akhirnya kita bertemu lagi. Gumamku tak jelas. Kudengar suara Amar dari
jauh dan jauh. Jauh sekali. Aku merasa kedinginan. Ooh ternyata Amar, selamat tinggal Amarku. Selamat tinggal. Aku akan
pergi menemui kakakku yang mencintaiku.
Gelap. Gelap.
THE END