You lift my feet off the ground
You spin me around
You make me crazier crazier
Feels like I’m falling and I am lost in your eyes
You make me crazier crazier crazier oh
You spin me around
You make me crazier crazier
Feels like I’m falling and I am lost in your eyes
You make me crazier crazier crazier oh
Crazier
nya Taylor Swift mengalun pelan dari music player silver pemberian kakak yang
kusetel keras – keras hingga dapat kudengar dari balik kamar mandi. Kuresapi setiap helaian melodi indah dan suara soft
sang penyanyi yang menenangkan hati. Ku terobos hayalku jauh, seperti lagu itu,
apakah akan ada seseorang yang datang mangajarkanku melihat sesuatu yang belum
pernah kulihat sebelumnya ataupun mengajakku untuk terbang bersamanya. Huuuuftthhh…. Hayal memang indah. Gumamku. Sekelebat
kamar mandi 1 x 1 m itu kujelma jadi panggung konser nan megah dengan kapasitas
penonton 40 ribu orang dimana aku sebagai biduan blondy yang dielu – elukan itu.
Shower pun layaknya mic yang
dilabelin huruf T dengan emas 20 karat, bukan Taylor tentunya tapi Tina,
namaku. Kini aku menghela nafas lama ancang – ancang nafas untuk mengambil nada
tinggi yang akan membuat penonton tercengang memujiku. Dan ….
“Tinaaaaaaaaaaaa,
cepetan dong mandinyaaaa”. Bluuuuuuurrr… buyar
hayalku, hampir kutelan shower itu. Kayaknya telah kutelan 10 cm lebih sedikit
deh, maklum shower nya itu selang
panjang yang terhubung langsung dengan keran air. Aku biasanya mandi langsung
dialiri dari selang panjang itu.
“Udah mau selesai kok, kak”
“Kamu ini mandi apa
tidur sih, Tin. Buru ya kakak mau kerja”
Aku tersenyum sendiri demi hayalku barusan yang
berlagak persis seperti yang sering diceritakan kakakku tentang Taylor Swift
dan panggungnya. Aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan menghitung langkah
kaki mungil yang basah ini. Hal itu sudah biasa aku lakukan semenjak pindah
kekontrakan kecil ini setahun yang lalu. Aku memang harus beradaptasi dan
mengingat setiap langkahku jika tak ingin terjerembab ataupun menghantam benda
didepanku.
Jam digital disampingku baru saja menyuarakan pukul
08.30 p.m. Masih pagi dan aku telah berpakaian wangi. Aku tak kemana – mana. Di
luar tiba – tiba hujan deras. Aku bisa mendengar nyanyiannya, membaui nafas
bumi yang lembab itu, aku tahu ada hujan disana. Jendela kamarku memiliki
tembok kecil berfungsi sebagai tempat duduk. Kakakku sengaja menyuruh teman
tukangnya untuk menambah tembok kecil itu karena dia tahu aku selalu suka
berlama – lama menenggelami hujan dari balik jendela. Kakakku jugalah yang
menaruh pot bunga kecil berisi bunga aster kesukaanku di ujung tembok kecil itu
untuk menemaniku. Aku menamai pojokan itu “titik titik”. Kuhampiri pojokan itu.
Sedikit meraba aku duduk diatasnya dan menempel hidungku hingga terlihat ceper
di jendela kaca yang lembab.
“Kak, hujan itu indah ya??”
“Iyah sayangku.. tapi
merepotkan kalo ujan, kakak jadi molor kerja”
“Hmmm.. Pasti bumi
lebih indah setelah hujan turun, ingin kulihat wajah bumi ketika hujan ini
berhenti.”
Kakakku akan speechless jika pernyataan – pernyataan
seperti ini kumuntahkan. Aku bisa menebak akan tersungging senyuman manisnya
yang pahit di wajah yang tak pernah kutatapi itu.
“Udah
ah, kakak kerja dulu ya de’… kamu yang hati – hati disini.”
“Siap
bos kepala”
“Nanti
kakak bawa pulang ketoprak special mbak inah deh”
Sejenak
dia mengecup pelan ubun – ubunku dan langkahnya berlalu ditelan gemuruh hujan
deras diluar sana. Kasihan kakakku, dia harus kerja membanting tulang demi kita
berdua. Mungkin hal itu yang membuat kakakku masih melajang di umurnnya yang
hanpir berkepala empat. Pernah ingin kuakhiri saja hidupku yang gelap, yang
hanya menyusahkan. Tapi dia meyakinkanku untuk tetap bersamanya karena hanya
aku yang dia miliki. Dan ketika itu terjadi, aku akan balik meyakinkannya bahwa
hanya dialah yang aku miliki. Aku tak tahu jika tak ada dia disampingku.
Hidup ini indah namun terkadang seseorang
harus menerobos dan menggauli kesakitan untuk mencapai esensi keindahan itu, Adikku sayang. Tidak peduli
kau tidak dapat melihatku, kau masih bisa merabaku, mengusapku dan membaui
aroma tubuhku. Aku ada dalam ketiadaan
dan kekuranganmu seperti kau ada melengkapi ke-aku-anku.
Kalimat
yang lumayan panjang itu terngiang dibenakku. Kakakku yang melafalkannya,
menguatkan aku dalam gelapku. Aku menyayanginya. Aku percaya bahwa setiap
manusia yang dilahirkan ke dunia ini dengan peta perencanaan dan rahasiaNya
masing – masing. Aku pun yakin bahwa Tuhan menciptakan Guardian Angel bagi tiap manusia yang diciptakannya. Dan aku yakin
kakakku yang diutus Tuhan untukku. Aku telah hidup 20 tahun dalam kegelapan.
Menurut cerita yang dikisahkan kakakku, aku terlahir normal hanya saja ada
kesalahan yang dilakukan rumah sakit hingga aku menderita cacat setelah keluar
beberapa minggu dari rumah sakit. Aku kegelapan, dia yang selalu menemani dan
menerangi hari - hariku. Kakakku punya ribuan kata – kata indah yang bisa
membangun semangatku walau kuakui tak selamanya berhasil, tapi dia pasti telah berusaha
sangat keras. Tak jarang pula ku tuding Tuhan dengan pertanyaan dan pernyataan
yang naga – naganya akan memental keras balik padaku hingga aku merasa kalah
dan jenuh. Akhirnya kubiarkan itu semua berlalu ketika hujan turun membasahi
bumi.
“Tina, udah sarapan?”, tanya bibi
tetangga yang biasa datang ke kontarakan melihat keadaanku. Bibi dibayar oleh
kakakku untuk sekedar membantuku dan menemaniku jikalau aku suntuk.
“Udah bi, tadi sarapan sama kakak”,
jawabku sopan
Aku berjalan meraba kearah ruang
tamu, disana bibi memutar TV untukku, walau tidak bisa kulihat setidaknya
suaranya bisa kudengar. Bibi menyetel channel
yang sedang memberitakan korupsi yang sedang marak terjadi di negeri ini. Bibi
menggerutu kesal mengiringi jalannya pemberitaan yang membuatku tertawa geli.
Kubayangkan wajahnya yang mirip donat kembang – kempis. Ku bilang donat karena
kakak selalu memanggilnya dengan sebutan bibi donat.
“Heran aku sama orang – orang pintar
itu, lha wong duit rakyat kok ditelan sendiri. Gak cukup apa gaji mereka yang
banyak itu. Belum tunjangan yang dikasih Negara. Rakusnya.”
“Gitu
lah mbak, banyak tuntutan, dari diri, anak istri, dsb.”
“Ya
tapi kan itu uang haram, masa diembat juga. Kasian kita rakyat kecil”
“Hehehe..
mereka itu sudah tuna mbak, tuna segala”
“Maksudnya
apa to tuna? Ikan tuna. Apa hubungannya mbak Tina, mereka ama ikan Tuna?.”
Aku tertawa geli.
Aku tertawa geli.
“Lha
kok ketawa mbaknya”
“Bibiiiii,
maksudnya aku tuna itu cacat, bi. Seperti aku niih”
“Ah
makin gak ngerti bibi. Mereka kan gak buta neng”
“Hmmm….
Mata mereka memang gak buta bi, tapi lebih dari itu. Tuna segalanya, tuna
netra, tuna rungu, dan tuna – tuna lainnya… hehehehe”, kataku memutar menggoda
si bibi.
Bibi
melongo, aku melanjutkan.
“Mereka
itu gak punya mata, telinga dan hati nurani lagi bi. Udah ditutup ma uang. Mana
mereka kasihan melihat kita rakyat kecil menderita, atau mendengar rintihan
kita ketika harga BBM naik yang imbasnya kenaikan harga sembako yang mencekik.
Yang ada makin bernafsu makan duit rakyat bi, gituuuuuu…”.
Bibi
nyengir sambil ketawa 3 ketukan, hanya 3 ketukan. Aku hitung, sumpah. Hahaha.
“Ih
mbakyu pintar juga”
“Khan
tadi maksud bibi juga gitu, cuman aku nambahin aja, berarti yang pintar ntu
bibi”.
Bisa
kurasakan atmosfer bangganya memenuhi ruangan. Hal itu dibuktikan dengan
segelas jus tomat favoritku yang langsung dibuatkan untukku karena kalimat
terakhir itu. (Aku baru sadar bahwa ternyata
aku punya bakat merayu juga.. hahaha..
^_^ )
Langkah bibi yang berat menjamahi
lantai menuju kearah dapur. Aku sungguh bersyukur di tengah gelapku ada manusia
– manusia indah ini yang bersedia menyediakan dunia padaku walau tak sepenuhnya
ku andalkan. Aku punya mimpi sendiri ketika suatu hari aku bisa berjalan
sendiri menyusuri kabut tipis, merasakan terpaan angin menyetubuhi tiap lekukan
tubuhku dengan aroma tanah lapang yang khas. Sungguh kuingin, hanya ada aku dan
aku tanpa kakakku, bibi atau siapapun juga. Sekali lagi hanya ada aku dan aku.
Aku
tak ingin menyusahkan orang lain lagi. Janjiku dalam kalbu.
Bbrrrrrrrmmmmm…….
brrrrrruuummmmmmmmmmm.. tiiiiiiitt… tiiiiiiiiiiit….
Suara
itu berulang – ulang memekakkan gendang telinga. Rupanya hujan telah berlalu
dan kini ada suara berisik yang datang dari halaman rumah kontrakan kecil ini.
Bibi bergegas dari dapur dengan sedikit berlari numpang sedikit bawel disana.
“Siapa disana berisik sekali. Ni
neng jusnya, bibi liat kedepan siapa yang datang,” kata bibi agak ngos –
ngosan. Aku raih gelas berisi jus itu dan menganggukan kepala mengiyakan.
Terdengar pintu tua itu berderit
ditutup bibi dibalas klakson panjang si rider
di halaman depan sana. Samar – samar bibi terdengar kegirangan. Siapa yang datang. Aku penasaran. Tapi
aku tak sedang ingin mengangkat pantatku dan meninggalkan jus tomatku
sendirian. Jika kutinggalkan sudah pasti aku tidak akan meneguknya lagi. Sifat buruk nomor kesekian.
********************
Jam digital pinggir meja tempat
tidur berbunyi. Sekarang pukul 5 sore.
Kuraih selimutku lagi tanpa peduli hari sudah sangat sore. Beginilah kerjaku
setiap harinya jika tidak diajak keluar kakakku maka aku jika tidak berputar di
areal rumah ini berarti kamarlah yang aku huni. Apalagi sekarang musim
pancaroba, cuaca tidak menentu dan kebanyakan hari diguyur hujan. Kakakku
berangkat kerja hingga malam jadi tak mungkin harus menemaniku setiap jamnya.
Bibi udah balik ke rumahnya sedari kedatangan tamu tadi. Sudah puluhan judul lagu
kudengar, sudah kusapu kamar ini berulang – ulang. Apalagi yang harus
kulakukan. Huuffthhh….
You just gotta ignite the light
And let it shine
Just own the night
Like the Fourth of July
And let it shine
Just own the night
Like the Fourth of July
Firework – nya
Katy Perry yang kusetel sebagai ringtone hp
ku berbunyi berulang – ulang sebelum kuangkat. Sudah kutahu pasti panggilan itu
dari kakakku. Siapa lagi yang menelponku berulang – ulang sampai kuangkat kalo
bukan dia.
“Halo”
“Masih tidur kamu? Udah
sore, bangun mandi sana.. ntar bau kebo”
“Iyah, baweeeelll….”
Klik.
Hanya
itu.
Aku beranjak dari
tempat tidur dan melangkah meraba ke arah kamar mandi. Tak berniat untuk mandi.
Kubasuh wajahku dengan air dingin hingga membuat bulu kudukku berdiri. Untuk
apa aku mandi, aku tak kemana – mana dan malas kemana – mana. Dunia terlalu
gelap diluar sana tanpa mereka yang menerangiku. Aku hanya akan dikasihani dan
aku benci dikasihani.
Aku telah bersih dan
rapi menurut versiku sendiri. Perlahan kulewati pintu kamarku kemudian ke teras
depan. Aku hanya ingin bersantai menikmati udara sore yang lembab. Kakiku tersandung
sesuatu dan membuatku hamper jatuh terjerembab jika saja tidak cepat kucari
pegangan. Kudengar ada sesuatu yang bergerak cepat tadi ketika aku hamper jatuh
tapi kemudian tidak ada gerakan lagi. Kutempatkan posisiku diatas kursi teras
yang empuk itu. Kursi santai panjang itu salah satu temanku melewati hari.
Kutempatkan tanganku diatas meja kecil tepat disampingku. Aku menebak pasti
sudah banyak semut merah disana karena tadi siang aku sengaja menempatkan
sepotong cake kecil untuk mengundang
teman – teman mungilku itu.
Ada gerakan yang timbul
dari rerumputan halaman rumah.
“Aahh…. ”, aku
menjerit. Gigitan semut merah kecil itu menimbulkan rasa agak perih di ujung
jariku. Aku menikmatinya.
“Hai..”, ada sahutan
kali ini. Suara yang hangat.
“Hai juga”, aku
membalas sahutan. Gelap.
“Aku Amar,” suara dari
gerakan tadi memperkenalkan diri. Mungkin dia menjulurkan tangannya tapi aku
tak tahu harus kusambut disebelah mana.
Aku mempersilahkan dia
duduk walau agak keberatan karena selama ini aku tak biasa bercakap – cakap
dengan orang yang tak dikenal sendiri tanpa kakak atau bibi.
“Aku anak bibi Juni,
tetangga sebelah. Dia yang menyuruhku menemanimu untuk sementara, lagipula aku
belum punya teman disini. Siapa tau kita bisa berteman.” Lelaki itu berkata
santai.
“Iyah, aku Tina”, aku
menimpali.
“Kamu sadar kan disitu
ada banyak banget semut merah… ekkhhmm…. Eh maaf, kata mama… kamu…. Ekkhmm….”,
ada nada kasihan dalam suaranya hingga tak mampu dia sambung kata – katanya.
“Butaa….. hehehe..
santai aja lagi”, aku menimpali dengan sedikit senyuman di bibir.
“Maaf, aku tak
bermaksud untuk berkata seperti itu, hanya saja aku ingin bilang banyak semut
merah disitu.”
“Aku tau kok karena aku
sengaja menghadirkan teman – teman kecilku ini.”
Dia abstain
“Seperti yang kamu
lihat kan, dunia gelap bagiku. Aku tak mungkin melangkah jauh dan sejauh ini
temanku bisa dibilang hanya kakak dan bibi. Kalo mereka gak ada.. ya mereka
inilah yang menemaniku.”
“Kenapa semut merah?”
“Hmmm… aku suka ketika
makhluk kecil ini menggigitku manja. Dengan menggigitku maka aku akan tahu
bahwa mereka ada. Mereka ada menemaniku. Jadi aku tak akan pernah merasa
sendiri ketika kakak atau bibi tak ada.”
To
be continued…. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar