Rabu, 09 Mei 2012

Surat Kecil Tina Untuk Amar...


You lift my feet off the ground
You spin me around
You make me crazier crazier
Feels like I’m falling and I am lost in your eyes
You make me crazier crazier crazier oh
            Crazier­ nya Taylor Swift mengalun pelan dari music player silver pemberian kakak yang kusetel keras – keras hingga dapat kudengar dari balik kamar mandi. Kuresapi  setiap helaian melodi indah dan suara soft sang penyanyi yang menenangkan hati. Ku terobos hayalku jauh, seperti lagu itu, apakah akan ada seseorang yang datang mangajarkanku melihat sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya ataupun mengajakku untuk terbang bersamanya. Huuuuftthhh…. Hayal memang indah. Gumamku. Sekelebat kamar mandi 1 x 1 m itu kujelma jadi panggung konser nan megah dengan kapasitas penonton 40 ribu orang dimana aku sebagai biduan blondy yang dielu – elukan itu. Shower pun layaknya mic yang dilabelin huruf T dengan emas 20 karat, bukan Taylor tentunya tapi Tina, namaku. Kini aku menghela nafas lama ancang – ancang nafas untuk mengambil nada tinggi yang akan membuat penonton tercengang memujiku. Dan ….
“Tinaaaaaaaaaaaa, cepetan dong mandinyaaaa”. Bluuuuuuurrr… buyar hayalku, hampir kutelan shower itu. Kayaknya telah kutelan 10 cm lebih sedikit deh, maklum shower nya itu selang panjang yang terhubung langsung dengan keran air. Aku biasanya mandi langsung dialiri dari selang panjang itu.

“Udah mau selesai kok, kak”
“Kamu ini mandi apa tidur sih, Tin. Buru ya kakak mau kerja”
Aku tersenyum sendiri demi hayalku barusan yang berlagak persis seperti yang sering diceritakan kakakku tentang Taylor Swift dan panggungnya. Aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan menghitung langkah kaki mungil yang basah ini. Hal itu sudah biasa aku lakukan semenjak pindah kekontrakan kecil ini setahun yang lalu. Aku memang harus beradaptasi dan mengingat setiap langkahku jika tak ingin terjerembab ataupun menghantam benda didepanku.
Jam digital disampingku baru saja menyuarakan pukul 08.30 p.m. Masih pagi dan aku telah berpakaian wangi. Aku tak kemana – mana. Di luar tiba – tiba hujan deras. Aku bisa mendengar nyanyiannya, membaui nafas bumi yang lembab itu, aku tahu ada hujan disana. Jendela kamarku memiliki tembok kecil berfungsi sebagai tempat duduk. Kakakku sengaja menyuruh teman tukangnya untuk menambah tembok kecil itu karena dia tahu aku selalu suka berlama – lama menenggelami hujan dari balik jendela. Kakakku jugalah yang menaruh pot bunga kecil berisi bunga aster kesukaanku di ujung tembok kecil itu untuk menemaniku. Aku menamai pojokan itu “titik titik”. Kuhampiri pojokan itu. Sedikit meraba aku duduk diatasnya dan menempel hidungku hingga terlihat ceper di jendela kaca yang lembab.
“Kak, hujan itu indah ya??”
“Iyah sayangku.. tapi merepotkan kalo ujan, kakak jadi molor kerja”
“Hmmm.. Pasti bumi lebih indah setelah hujan turun, ingin kulihat wajah bumi ketika hujan ini berhenti.”
Kakakku akan speechless jika pernyataan – pernyataan seperti ini kumuntahkan. Aku bisa menebak akan tersungging senyuman manisnya yang pahit di wajah yang tak pernah kutatapi itu.
            “Udah ah, kakak kerja dulu ya de’… kamu yang hati – hati disini.”
            “Siap bos kepala”
            “Nanti kakak bawa pulang ketoprak special mbak inah deh”
            Sejenak dia mengecup pelan ubun – ubunku dan langkahnya berlalu ditelan gemuruh hujan deras diluar sana. Kasihan kakakku, dia harus kerja membanting tulang demi kita berdua. Mungkin hal itu yang membuat kakakku masih melajang di umurnnya yang hanpir berkepala empat. Pernah ingin kuakhiri saja hidupku yang gelap, yang hanya menyusahkan. Tapi dia meyakinkanku untuk tetap bersamanya karena hanya aku yang dia miliki. Dan ketika itu terjadi, aku akan balik meyakinkannya bahwa hanya dialah yang aku miliki. Aku tak tahu jika tak ada dia disampingku.
            Hidup ini indah namun terkadang seseorang harus menerobos dan menggauli kesakitan untuk mencapai esensi  keindahan itu, Adikku sayang. Tidak peduli kau tidak dapat melihatku, kau masih bisa merabaku, mengusapku dan membaui aroma tubuhku. Aku ada dalam ketiadaan  dan kekuranganmu seperti kau ada melengkapi ke-aku-anku.
            Kalimat yang lumayan panjang itu terngiang dibenakku. Kakakku yang melafalkannya, menguatkan aku dalam gelapku. Aku menyayanginya. Aku percaya bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini dengan peta perencanaan dan rahasiaNya masing – masing. Aku pun yakin bahwa Tuhan menciptakan Guardian Angel bagi tiap manusia yang diciptakannya. Dan aku yakin kakakku yang diutus Tuhan untukku. Aku telah hidup 20 tahun dalam kegelapan. Menurut cerita yang dikisahkan kakakku, aku terlahir normal hanya saja ada kesalahan yang dilakukan rumah sakit hingga aku menderita cacat setelah keluar beberapa minggu dari rumah sakit. Aku kegelapan, dia yang selalu menemani dan menerangi hari - hariku. Kakakku punya ribuan kata – kata indah yang bisa membangun semangatku walau kuakui tak selamanya berhasil, tapi dia pasti telah berusaha sangat keras. Tak jarang pula ku tuding Tuhan dengan pertanyaan dan pernyataan yang naga – naganya akan memental keras balik padaku hingga aku merasa kalah dan jenuh. Akhirnya kubiarkan itu semua berlalu ketika hujan turun membasahi bumi.
            “Tina, udah sarapan?”, tanya bibi tetangga yang biasa datang ke kontarakan melihat keadaanku. Bibi dibayar oleh kakakku untuk sekedar membantuku dan menemaniku jikalau aku suntuk.
            “Udah bi, tadi sarapan sama kakak”, jawabku sopan
            Aku berjalan meraba kearah ruang tamu, disana bibi memutar TV untukku, walau tidak bisa kulihat setidaknya suaranya bisa kudengar. Bibi menyetel channel yang sedang memberitakan korupsi yang sedang marak terjadi di negeri ini. Bibi menggerutu kesal mengiringi jalannya pemberitaan yang membuatku tertawa geli. Kubayangkan wajahnya yang mirip donat kembang – kempis. Ku bilang donat karena kakak selalu memanggilnya dengan sebutan bibi donat.
            “Heran aku sama orang – orang pintar itu, lha wong duit rakyat kok ditelan sendiri. Gak cukup apa gaji mereka yang banyak itu. Belum tunjangan yang dikasih Negara. Rakusnya.”
            “Gitu lah mbak, banyak tuntutan, dari diri, anak istri, dsb.”
            “Ya tapi kan itu uang haram, masa diembat juga. Kasian kita rakyat kecil”
            “Hehehe.. mereka itu sudah tuna mbak, tuna segala”
            “Maksudnya apa to tuna? Ikan tuna. Apa hubungannya mbak Tina, mereka ama ikan Tuna?.”
            Aku tertawa geli.
            “Lha kok ketawa mbaknya”
            “Bibiiiii, maksudnya aku tuna itu cacat, bi. Seperti aku niih”
            “Ah makin gak ngerti bibi. Mereka kan gak buta neng”
            “Hmmm…. Mata mereka memang gak buta bi, tapi lebih dari itu. Tuna segalanya, tuna netra, tuna rungu, dan tuna – tuna lainnya… hehehehe”, kataku memutar menggoda si bibi.
            Bibi melongo, aku melanjutkan.
            “Mereka itu gak punya mata, telinga dan hati nurani lagi bi. Udah ditutup ma uang. Mana mereka kasihan melihat kita rakyat kecil menderita, atau mendengar rintihan kita ketika harga BBM naik yang imbasnya kenaikan harga sembako yang mencekik. Yang ada makin bernafsu makan duit rakyat bi, gituuuuuu…”.
            Bibi nyengir sambil ketawa 3 ketukan, hanya 3 ketukan. Aku hitung, sumpah. Hahaha.
            “Ih mbakyu pintar juga”
            “Khan tadi maksud bibi juga gitu, cuman aku nambahin aja, berarti yang pintar ntu bibi”.
            Bisa kurasakan atmosfer bangganya memenuhi ruangan. Hal itu dibuktikan dengan segelas jus tomat favoritku yang langsung dibuatkan untukku karena kalimat terakhir itu. (Aku baru sadar bahwa ternyata aku punya bakat merayu  juga.. hahaha.. ^_^ )
            Langkah bibi yang berat menjamahi lantai menuju kearah dapur. Aku sungguh bersyukur di tengah gelapku ada manusia – manusia indah ini yang bersedia menyediakan dunia padaku walau tak sepenuhnya ku andalkan. Aku punya mimpi sendiri ketika suatu hari aku bisa berjalan sendiri menyusuri kabut tipis, merasakan terpaan angin menyetubuhi tiap lekukan tubuhku dengan aroma tanah lapang yang khas. Sungguh kuingin, hanya ada aku dan aku tanpa kakakku, bibi atau siapapun juga. Sekali lagi hanya ada aku dan aku.
            Aku tak ingin menyusahkan orang lain lagi. Janjiku dalam kalbu.
            Bbrrrrrrrmmmmm……. brrrrrruuummmmmmmmmmm.. tiiiiiiitt… tiiiiiiiiiiit….
            Suara itu berulang – ulang memekakkan gendang telinga. Rupanya hujan telah berlalu dan kini ada suara berisik yang datang dari halaman rumah kontrakan kecil ini. Bibi bergegas dari dapur dengan sedikit berlari numpang sedikit bawel disana.
            “Siapa disana berisik sekali. Ni neng jusnya, bibi liat kedepan siapa yang datang,” kata bibi agak ngos – ngosan. Aku raih gelas berisi jus itu dan menganggukan kepala mengiyakan.
            Terdengar pintu tua itu berderit ditutup bibi dibalas klakson panjang si rider di halaman depan sana. Samar – samar bibi terdengar kegirangan. Siapa yang datang. Aku penasaran. Tapi aku tak sedang ingin mengangkat pantatku dan meninggalkan jus tomatku sendirian. Jika kutinggalkan sudah pasti aku tidak akan meneguknya lagi. Sifat buruk nomor kesekian.

********************
            Jam digital pinggir meja tempat tidur berbunyi. Sekarang pukul 5 sore. Kuraih selimutku lagi tanpa peduli hari sudah sangat sore. Beginilah kerjaku setiap harinya jika tidak diajak keluar kakakku maka aku jika tidak berputar di areal rumah ini berarti kamarlah yang aku huni. Apalagi sekarang musim pancaroba, cuaca tidak menentu dan kebanyakan hari diguyur hujan. Kakakku berangkat kerja hingga malam jadi tak mungkin harus menemaniku setiap jamnya. Bibi udah balik ke rumahnya sedari kedatangan tamu tadi. Sudah puluhan judul lagu kudengar, sudah kusapu kamar ini berulang – ulang. Apalagi yang harus kulakukan. Huuffthhh….
You just gotta ignite the light
And let it shine
Just own the night
Like the Fourth of July
Firework – nya Katy Perry yang kusetel sebagai ringtone hp­ ku berbunyi berulang – ulang sebelum kuangkat. Sudah kutahu pasti panggilan itu dari kakakku. Siapa lagi yang menelponku berulang – ulang sampai kuangkat kalo bukan dia.
“Halo”
“Masih tidur kamu? Udah sore, bangun mandi sana.. ntar bau kebo”
“Iyah, baweeeelll….” 
Klik. Hanya itu.
Aku beranjak dari tempat tidur dan melangkah meraba ke arah kamar mandi. Tak berniat untuk mandi. Kubasuh wajahku dengan air dingin hingga membuat bulu kudukku berdiri. Untuk apa aku mandi, aku tak kemana – mana dan malas kemana – mana. Dunia terlalu gelap diluar sana tanpa mereka yang menerangiku. Aku hanya akan dikasihani dan aku benci dikasihani.
Aku telah bersih dan rapi menurut versiku sendiri. Perlahan kulewati pintu kamarku kemudian ke teras depan. Aku hanya ingin bersantai menikmati udara sore yang lembab. Kakiku tersandung sesuatu dan membuatku hamper jatuh terjerembab jika saja tidak cepat kucari pegangan. Kudengar ada sesuatu yang bergerak cepat tadi ketika aku hamper jatuh tapi kemudian tidak ada gerakan lagi. Kutempatkan posisiku diatas kursi teras yang empuk itu. Kursi santai panjang itu salah satu temanku melewati hari. Kutempatkan tanganku diatas meja kecil tepat disampingku. Aku menebak pasti sudah banyak semut merah disana karena tadi siang aku sengaja menempatkan sepotong cake kecil untuk mengundang teman – teman mungilku itu.
Ada gerakan yang timbul dari rerumputan halaman rumah.
“Aahh…. ”, aku menjerit. Gigitan semut merah kecil itu menimbulkan rasa agak perih di ujung jariku. Aku menikmatinya.
“Hai..”, ada sahutan kali ini. Suara yang hangat.
“Hai juga”, aku membalas sahutan. Gelap.
“Aku Amar,” suara dari gerakan tadi memperkenalkan diri. Mungkin dia menjulurkan tangannya tapi aku tak tahu harus kusambut disebelah mana.
Aku mempersilahkan dia duduk walau agak keberatan karena selama ini aku tak biasa bercakap – cakap dengan orang yang tak dikenal sendiri tanpa kakak atau bibi.
“Aku anak bibi Juni, tetangga sebelah. Dia yang menyuruhku menemanimu untuk sementara, lagipula aku belum punya teman disini. Siapa tau kita bisa berteman.” Lelaki itu berkata santai.
“Iyah, aku Tina”, aku menimpali.
“Kamu sadar kan disitu ada banyak banget semut merah… ekkhhmm…. Eh maaf, kata mama… kamu…. Ekkhmm….”, ada nada kasihan dalam suaranya hingga tak mampu dia sambung kata – katanya.
“Butaa….. hehehe.. santai aja lagi”, aku menimpali dengan sedikit senyuman di bibir.
“Maaf, aku tak bermaksud untuk berkata seperti itu, hanya saja aku ingin bilang banyak semut merah disitu.”
“Aku tau kok karena aku sengaja menghadirkan teman – teman  kecilku ini.”
Dia abstain
“Seperti yang kamu lihat kan, dunia gelap bagiku. Aku tak mungkin melangkah jauh dan sejauh ini temanku bisa dibilang hanya kakak dan bibi. Kalo mereka gak ada.. ya mereka inilah yang menemaniku.”
“Kenapa semut merah?”
“Hmmm… aku suka ketika makhluk kecil ini menggigitku manja. Dengan menggigitku maka aku akan tahu bahwa mereka ada. Mereka ada menemaniku. Jadi aku tak akan pernah merasa sendiri ketika kakak atau bibi tak ada.”


To be continued…. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar