Sabtu, 12 Mei 2012

Eksekusi Mimpi Hujan Part I

08.00 WIT
Pagi ini sama seperti pagi – pagi sebelumnya di kota kecil ini, tidak ada yang spesial. Punggungan langit masih biru, kicauan burung masih terdengar, dan lekukan jalan kompleks ku pun masih sama dengan jalanan berlubang. Aku harus bergegas ke kampus karena hari ini ada beberapa mata kuliah yang ku kontrak. Uang bulanan yang biasa dikirim kakekku dari kampung hanya tinggal gope. Dengan uang segitu mungkin hanya bisa membeli gorengan pada mbak dipinggir counter pulsa di depan kampus. Mengingat ongkos transportku enam belas ribu per hari dengan perincian ongkos ojek sepuluh ribu dan ongkos angkot enam ribu bolak balik kampus rumah. Maklum, perjalanan dari rumah ke kampusku lumayan jauh, aku harus menyewa dua sopir yang berbeda dalam sehari, tukang ojek dan sopir angkot. Kekurangan vitamin U, aku sering menyebutnya seperti itu. Hal itu membuatku harus menumpang pada temanku yang mengendarai motor ke kampus. Lumayan untuk mensiasati kemiskinanku beberapa hari terakhir.
          Aku meluncur ke kampus diboncengi sahabatku Ella mengendarai motor ayahnya yang dia gelari koka shogun. Ban koka shogun-nya sudah botak licin seperti kepala dosen statistik kita yang ajaib bin nyentrik hingga membuat kita harus berhati – hati melewati jalanan yang licin. Ella gadis yang manis dan tomboy. Banyak mahasiswa dan dosen lelaki kesemsem pada gadis manis Gorontalo itu. Cara mengendarai motornya, jangan ditanya lajunya. Perjalanan ke kampusku memerlukan waktu setengah jam dengan kecepatan kurang lebih 40km/ jam, tapi bersamanya, 15 menit cukup untuk memarkir koka – nya di halaman kampus biru muda kita. Biasanya selama pejalanan ke kampus selalu ada candaan yang menyelinap hingga sesekali kami tertawa lepas di atas koka – nya. Koka- nya pun bahagia ditumpangi dua gadis manis ini (narsis, teteeeep… ^_^).
          Memasuki areal kampus yang seyogyanya penuh dengan manusia – manusia intelektual, namun yang terlihat lebih banyak model wanita dengan model jilbab dilipat terlingkar terlipat – lipat memutar mutar dan tak kalah model lelaki yang mempetontonkan celana melorot. Aku takut jangan sampai celananya melorot, bisa berabe masalahnya. Ada juga yang berantakan dan urakan. Hanya pakai sandal, jeans dengan lutut robek, rambut kumal dan dekil tak lupa gantungan yang jumlahnya melebihi jari tanganku. Kebanyakan mengatakan mereka tipe aktivis dengan intelektual di atas rata - rata. Aku menyukai, yang tak aku sukai mereka yang hanya mengekor. Toh, tidak selalu aktivis dan orang pintar harus seperti itu. Soe Hok Gie dan Khairil Anwar semisal. Tapi ya sudahlah untuk apa dipersoalkan juga, bebas ekspesi dan beberapa mantanku pun seperti itu..hehehehe.
          Ella dan aku menaiki perlahan tangga gedung D sambil bercanda. Kelas kami berada di lantai 3 gedung itu. Beberapa kali kami saling menyapa dengan mahasiswa program study lain. Sesekali ditimpali dengan candaan yang tidak menyapa nama kami namun mengatakan how are you? Atau good morning. Hal itu tak terlepas Karena kami berdua mengambil major pendidikan dan sastra inggris.
          “Onhaa….”, sahut sebuah suara memanggilku. Aku berbalik dan disana berdiri salah seorang tema dan juga seniorku. Namanya Ismit. Bahasa inggrisnya macam orang inggris asli. Kami sama – sama menggemari fotografi dan travelling.
          “Wooi brottha… ,” jawabku menjulurkan tangan untuk make a toss.
          “Gue punya info menarik sist,” katanya antusias.
          “Info apa bro? ada spot bagus untuk hunting?,” tanyaku
          “Kali ini it’s not about photography.” Jawabnya sedikit bule.
          “So……” Kutimpali sedikit kamseupay.
          Ismit lalu menyodorkan kertas fotokopi dua lembar. Aku menyambutnya langsung membolak – balikkan kertas tersebut. Mataku berbinar seperti mata keponakanku ketika diberi uang seribu.
          “Waah.. ma brothaaaa,,, info menarik neeh… udah dikasih liat teman – teman?”
          “Blom sista, baru diliatin ke loe ni, gue dapatnya dari alumni program ini.”
          “Hmmm… interesting. Anak – anak mesti pada tahu ni, biar bareng – bareng nyoba.”
          “Iyah sista… ntar ditempelin dipapan info prodi deh.”
          Aku dan Ismit berlalu menuju ke samping ruang prodi kami yang biasa dipakai mahasiswa bahasa inggris mangkal. Disana terletak sebuah kursi kayu yang dicat sekenanya oleh – oleh senior yang sudah lulus tahun kemarin. Teman – temanku yang lainnya belum terlihat batang betisnya di kampus. Ella sedang bertukar pikiran dengan ketua prodi di dalam sana. Diskusi berlanjut dengan Ismit.
          “Nha, kita mesti ke DISPORA kota ni nanyain info lengkapnya.”
          “Hmmm… iyah bro. Kesempatan bagus ni. Sayang loh kalo kita lewatkan. Anyway, kita mesti pastikan dulu di web nya kementrian.”
          “Wokelah, persayaratannya sejauh ini bisa dijangkau kayaknya. Berapa skor TOEFL mu, Nha? Di sini syaratnya skor kita harus melebihi 432”
          “Hmmm… Punya gue melampaui kok, bro. Setelah ini, jangan pulang dulu ya, kita merapat ke DISPORA kota”
           “Wokeh wokeh…. Siap bos. Aku ada mata kuliah ni, masuk dulu ya.”
          “Siip, ntar aku cek di website KEMENPORA deh buat mastiin aja kalo ini info beneran ada.”
          Ismit kemudian berlalu menuju kelas dan aku asik memperhitungkan persyaratan yang dibutuhkan. Kulirik jam hp murahan milikku, disana tertera pukul 09.30 WIT, jadwal kuliah hari ini jam 10 sampai jam 1. Semuanya dikepalai dosen killer yang metode pembelajaran hobinya yaitu presentasi. Aku masih puya beberapa menit untuk browsing informasi. Kubuka eucalyptus hitamku dan memilih Mozilla Firefox sebagai ojekku ke dunia maya. Perlahan jariku menari mencari rangkaian huruf hingga tertera alamat website kemenpora. Lama menunggu akibat koneksi internet yang sekarat. Masih menunggu. Dan akhirnya masuk juga. Ada beberapa laman berita disana dan diantaranya update info terbaru di bagian kepemudaan. Tertera dengan font times new roman yang ditebalkan ; Pertukaran Pemuda Antar Negara Tahun 2011. Kuarahkan kursor kearah tulisan menarik itu dan mengkliknya. Ternyata informasi yang diberikan benar adanya. Semangatku berjingkrak – jingkrak berteriak senang. Kubaca berulang kali persyaratan dan Negara – Negara tujuan untuk dikunjungi dan dipakai magang. Ada Malasya, Australia, China dan Kanada. Semangatku kini berguling – berguling ceria. Ini kesempatan emas untuk pengekseksusian mimpi part I. Gumamku sambil menyunggingkan senyum simpul demi menemani semangatku. Namun, dari semua persyaratan, ada yang menjanggal yang membuat keningku terpaksa berkerut. Aku dituntut untuk menguasai tarian dan lagu daerah Maluku Utara dimana aku berdomisili sekarang.
Aku abstain.
Aku memang sekarang berdomisili di Maluku Utara tepatnya Ternate tapi aku berdarah asli Ambon. Dibesarkan di bumi Ambon dengan bahasa dan budaya orang Ambon. Aku tidak familiar dengan budaya Maluku Utara. Pengetahuan tentang tarian dan lagu exist tapi untuk prakteknya aku gelap. Lagipula aku seorang cewek tomboy yang sumpah mati tidak suka  menari apalagi tarian daerah yang gerkannya slow seperti itu. Huufthhh….. tapi aku doktrin diriku sendiri, pencapaian sebuah mimpi tidak akan hebat kalau proses menuju mimpi itu semulus kulit temanku Ella. hahahahaha.
“Nona arab gila, senyum – senyum sendiri,” Mia mengejutkan selancar hayalku. Dia suka memanggilku seperti itu. Sekilas tentang temanku yang satu ini. Dia adalah teman terbaik untuk diajak bercanda. Berasal dari daerah terbelakang yang belum tersentuh terangnya lampu PLN, pertama kali datang ke kota kecil ini terheran – heran dengan banyaknya lampu di kota yang mungkin sebenarnya bisa masuk dalam kelas kampung ini. Dia sangat berambisi mirip artis Titi Kamal hingga tak ingin dipanggil namanya melainkan dipanggil Tikam. Mirip juga sebenarnya. Motto hidupnya dan gadis – gadis kampungnya kalau sampai mati tidak menginjakkan kaki di Ternate maka pantas disesali.  Perfect gilanya ni gadis. Aku lebih senang memanggilnya biji mata mercusuar karena ukuran matanya yang melebar terbuka.
“Eh biarin, seyum – senyum gue, loe yang sewot siiih?” aku menimpali.
“Masalahnya mahasiswa – mahasiswa yang lain bakalan kira artis Tikam temenen ma orang gila lagi. Ayuuk masuk kelas yuuk, udah pada mau masuk dosen.”
“Wokeh berangkat. Mana anak – anak yang laen? Gue punya info menarik biji mata mercusuarku sayang, entar kita share ke yang lain juga.” Jelasku sambil berlalu bersamanya menuju ruangan kami.
Siang itu, seperti yang sudah kuprediksi kita presentasi lagi. Enak sangat dosen sekarang. Atau apakah cuma dosen – dosen di kampusku yang seperti ini. Masuk ruangan dan mebagikan materi, kita presentasi, beliau duduk diam mendengarkan dan menggeneralisasikan masalah di akhir episode kadang juga tidak.
Hari ini aku cukup kelelahan dan kelaparan dengan uang hanya lima ribu tertinggal di saku. Teringat akan meluncur ke kantor DISPORA yang letaknya sekitar 17km dari kampus menepis kelaparan itu. Demi pengeksekusian mimpi part I. Aku menghibur perut.
Jadwal hari ini sudah semua dan aku sempat bertukar pikiran dengan teman – teman tentang beasiswa yang sedang di offer pemerintah itu. Namun, paradigma orang di barat berbeda antara langit dan bumi dibeberapa titik dengan orang timur. Jika manusia - manusia di barat negeri ini berlomba untuk mendapatkan kesempatan mengembangkan diri maka lain halnya dengan kita yang di timur yang walau kesempatan itu datang mulus kepada kita tidak dimaksimalkan dengan baik. Kita selalu pesimis dengan kemampuan diri yang berujung pada apatisme. Banyak alasan dan ketakutan menyertai selain rasa ingin mereka yang besar untuk mendapatkan beasiswa itu. Aku menyemangati dengan mengatakan bahwa aku tidak bisa menari dan kadang sepenggal – sepenggal kalimat kukutip dari sang motivator Mario Teguh tapi tetap saja. Hasilnya hanya aku dan Ismit yang ingin. Aku mengincar China sebagai mazhab interprenership dunia dan temanku itu mengincar Australia mengingat kuota yang disiapkan juga.
Aku dan Ismit meluncur meninggalkan kampus mengendarai mio merah milik Ismit yang berdebu dan kotor sekali. Siapa peduli. Panas hari ini menikam kepala sampai ubun – ubun. Jalanan ramai dengan anak – anak berseragam, maklum jam pulang sekolah. Setelah perjalanan yang memakan waktu sekitar sejam itu, akhirnya kami memasuki areal kantor DISPORA kota Ternate yang rindang yang biasanya dipakai latihan karate anak – anak. Pantat tipisku begitu pegal ketika hampir sejam duduk diatas jok motor itu.
“Assalamu’alaikum pak,” kami menyalami seorang pegawai di depan pintu masuk.
“Wa’alaikum salam. Ada keperluan apa ya?,” tanyanya
“Kita ingin menanyakan informasi PPAN pak?” jawab kita sopan
“Apa itu PPAN,” tanyanya sekilas.
“Pertukaran Pemuda Antar Negara, Pak,” jawab Ismit singkat.
“Saya tidak dengar ada program itu, yang ada cuman pertukaran pemuda antar daerah adik – adik, tapi coba kalian tanyakan pada Pak Heri dilantai atas,” katanya sambil menuding lantai atas.
Kami berterima kasih padanya dan melangkah dengan menepis kebingungan ke lantai atas. Kami berhadapan langsung dengan Pak Heri yang dimaksud. Lelaki muda yang sigap dan sopan mepersilahkan kami duduk.
“Apa yang bisa saya bantu, anak muda?” tanyanya
“Ini pak kami mau tanyakan tentang program pertukaran pemuda antar Negara, Pak,” Ismit yang menjawab.
“Hmmm.. yang DISPORA tangani saat ini tidak ada program itu hanya ada pertukaran pemuda antar daerah.” Jawabnya sambil memberika rincian kegiatan DISPORA itu.
“Tapi ini surat edaran dari KEMENPORA ke tiap – tiap DISPORA daerah Pak. Kita juga udah email ke kemenpora katanya program ini untuk masing – masing daerah dan masing – masing daerah mesti kirim perwakilannya Pak.” Jelasku sambil menyodorkan hasil print email dari Kemenpora.
“Tapi kita tidak terima fax atau email dari KEMENPORA. Lagipula di kantor ini belum ada fax dan koneksi internet untuk membuka email.” Jelasnya mengangkis.
Bla… bla… bla….Gila. Ini kantor pemerintah apa kuburan. Gumamku dalam hati dongkol. Dan semangatku agak ciut. Jalan buntu. Penjelasan kemudian yang diberikan oleh si Heri itu menggambarkan jelas bahwa tak ada program itu. Sedikit aneh. Berbagai spekulasi muncul dalam kepalaku. Mungkin mereka bohong, mungkin mereka hanya ingin yang ikut program anak – anak mereka dan sanak saudara, dengan kata lain nepotisme bermain disitu. Ataukah memang benar yang dipaparkan. Kalau memang benar yang dipaparkan berarti betapa kasihannya IT di Maluku Utara ini. Pendidikan terbelakang, kegiatan kepemudaan terbelakang dan juga sarana dan prasarana yang menunjang pun terbelakang. Bagaimana mau maju jika instansi pemerintahpun seperti begini kerjanya. Tak pelak kita dari timur selalu kebanyakan tak mempunyai kapabilitas untuk bersaing dengan yang di timur sana. Surat edaran yang naga – naganya dikirim ke DISPORA malah kita yang duluan dapat informasi. Sungguh kasihan Maluku Utara dan pegawai – pegawainya.
Spekulasi lain yang muncul di benakku. Apakah mereka telan sendiri budget yang disiapkan pemerintah pusat untuk mengeksekusi kelangsungan kegiatan ini. Ah tak tahulah. Gumamku. Sekali lagi aku hanya bisa berspekulasi. Semuanya gelap. Tapi aku takkan menyerah sampai disini. Pasti ada celah yang bisa dimasuki karena jelas – jelas kegiatan ini bukan fiktif.
Setelah lama berdebat dengan si petugas DISPORA itu.
“Coba kalian hubungi DISPORA provinsi di sofifi, mungkin mereka yang mengagendakan kegiatan tersebut.”
Buuuuuuzzzzzzzzzzzz……….. ada secercah titik terang.

                    *bERSAmBung............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar